Drama Kompleks

Sudah tiga tahun saya dan suami memutuskan untuk pindah ke rumah yang kami beli di sebuah kompleks perumahan yang sudah lama ada, bukan kompleks perumahan baru. Kami membeli rumah yang sudah dipakai dan direnovasi oleh pemilik sebelumnya. Katanya beliau punya banyak rumah dan rumah ini jarang ditempati, lebih sering dikontrakkan. Menurut cerita, si empunya rumah sempat mencalonkan diri menjadi anggota dewan dan rumah ini sempat tidak bisa membayar cicilan. Sebelum disita oleh Bank, seorang teman melunasinya kemudian membantu menjualkan.

Hampir tiga bulan kami mencari rumah yang sesuai dengan budget kami, tapi tak kunjung mendapatkan. Setiap weekend, si Ayah keliling mencari informasi ruamh dijual hingga bertemu dengan rumah ini. Benar kata orang, rumah itu jodoh. Pertama kali mengajakku melihat rumah ini, si Ayah bertanya, "Mau tinggal di sini?". Tanpa berfikir panjang, saya hanya mengiyakan. Saat itu, yang ada di fikiranku adalah bagaimana caranya kami bisa mandiri. Meski saat kami melihat rumah itu, suasanya sepi, rumahnya pun berada di ujung dan tidak terlihat utuh karena malam hari.

Tak butuh waktu lama, rumah itu pun terbeli oleh kami. Kami menempati setelah dua bulan sejak proses jual beli. Karena belum ada dana untuk renovasi, kami menempati apa adanya karena sudah ada dapur dan lantai atas seadanya. Tetangga juga masih sepi meski kompleks ini bukan kompleks baru. Kebanyakan putra-putri mereka sudah sekolah, bahkan ada yang sudah bekerja. Pertimbangan kami memilih kompleks lama karena si Ayah lebih tenang kalau pulang malam sudah ada tetangga. Membeli rumah baru biasanya masih sepi karena belum banyak yang tinggal.

Saya yang tidak terlalu suka keramaian sehingga nyaman dengan lingkungan yang sepi. Samping rumah sedang direnovasi setelah dibeli juga. Belakang saya ketahui dia sempat menawar rumah yang sama dengan kami, tapi kalah tinggi harga dengan kami. Dua rumah di depan saya dikontrakkan, ada beberapa rumah juga sepertinya hanya untuk investasi sehingga dibiarkan kosong. Saya bukan tipe orang yang mudah takut meski si Ayah sering pulang malam. Sesekali saya juga ke rumah mertua untuk berkunjung karena mereka kangen cucunya.

Saat sudah mulai ramai, tetangga sebelah rumah pindah, suasana menjadi berubah. Seperti ibu-ibu rumah tangga yang lain, kami mengusir jenuh dengan bercerita menungggu suami pulang dan mengisi waktu luang. Namun, saya mulai merasa tidak nyaman ketika terlalu banyak bercerita, menjadi semakin memandingkan dan mentransfer fikiran negatif. Tetangga saya ini paling sering membahas pelakor, dia selalu mengingatkan saya untuk berhati-hati dengan pelakor. Tidak ada yang tidak mungkin katanya. Nah, sejak dia lebih sering menilai segala sesuatu dari segi negatif, terlalu melihat kekurangan orang dan sampai menanyakan gaji dan insentif suami membuat saya semakin tidak nyaman.

Saya lebih sering menyibukkan diri dengan menatap layar laptop, menyalurkan hobi sekaligus mencari kegiatan yang lebih bermanfaat. Tak lama, ada sebuah keluarga yang mengontrak depan rumah. Si tetangga sebalah saya ini memang menjadi lebih dekat dengan banyak orang ketimbang saya karena saya kurang suka terlalu lama ngobrol. Saya biasa keluar saat si Sulung keluar bermain dan segera kembali ke rumah sebelum maghrib. Setelah itu, saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah menyelesaikan pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Si tetangga ini lebih suka ngobrol lama di rumah orang, jadi lah dia lebih banyak akrab dengan banyak orang ketimbang saya. Dia lebih tahu banyak perubahan yang diceritakan pada saya, tapi saya sebenarnya tidak ingin tahu.

Berdasarkan analisis saya, tetangga saya ini tipe orang yang sangat ingin tahu. Setiap saya beli apapun, dia selalu tahu entah bagaimana. Keingintahuannya membuat saya merasa tidak nyaman karena memang saya adalah tipe orang yang tidak terlalu ingin ditahu apa saja yang saya miliki. Dia selalu berusaha membandingkan dan berusaha melebihkan. Saya tidak masalah kalau dia mengunggulkan dirinya, tapi saya tidak suka semua tentang saya ingin diketahuinya. Saya sedikit menjaga jarak ketika saya sudah merasa tidak nyaman. Hanya sekedarnya saja, tidak ingin terlalu dekat. Dia sering datang ke rumah lalu melihat ke sekeliling dan berkomentar hal baru di rumah.

Pernah suatu hari dia datang dengan tergesa-gesa ke rumah hanya untuk mengabarkan kalau ada seorang tetangga kami yang katanya suka merebut suami orang. Tetangga saya ini memang tipe orang yang ekspresif dan sepertinya tidak memiliki pendirian. Dia tipe yang menjadi seperti lawan bicaranya. Dia banyak bermasalah dengan keluarganya. Melihat latar belakang keluarganya, sepertinya saya mengerti mengapa dia berlaku seperti itu. Lahir dari keluarga sederhana dengan banyak tuntutan, dia akhirnya diperistri oleh orang biasa yang memiliki karir bagus di PT PLN. Dia seperti ingin menunjukkan kalau dia sekarang sudah menjadi orang berada. Membeli rumah yang lebih besar dari rumah sebelumnya dengan barang yang serba baru dan membawa dirinya dengan make up yang tak pernah lepas, juga baju yang selalu baru.

Saya masih baik seperti biasa, hanya sedikit menarik diri. Tidak ingin ikut berbicara tidak bermanfaat, tidak ingin terjebak dengan obrolan ibu-ibu yang nggak tentu arah. Si tetangga ini ternyata memang tipe yang suka melihat dan mengamati orang lain untuk membandingkan. Bukan hanya itu, belakangan saya tahu kalau dia pun suka mengetahui banyak tentang orang lain itu untuk dijelekkan. Melihat sisi negatif dari orang lain untuk diceritakan keburukannya. Saya adalah orang yang tak pernah berprasangka buruk, tapi ketika mengetahui dia bercerita banyak tentang orang lain yang sedang akrab dengannya, saya jadi tahu karakternya.

Yang lebih parahnya lagi, sempat Bu Rt salah paham menilai kami ikut memusuhinya karena sering ngobrol dengan orang yang sedang tidak akur dengannya. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata ada yang tidak saling sapa, sayangnya justru ketua RT yang memiliki masalah dengan dua orang warganya hingga tidak bersapaan dengan orang yang pernah sangat dekat denganya. Saya pun baru tahu dari beberapa cerita kalau mereka punya teman dekat atau bisa disebut sahabat dekat yang sering pergi bersama untuk sekedar makan atau berjalan-jalan.

Beberapa bulan terakhir ini terlihat sekali perpecahan diantara warga kompleks. Ibu-ibu saling membicarakan keburukan satu sama lain. Semakin terlihat yang tidak memiliki hubungan baik dan bahkan melebar melibatkan warga lain. Saya berusaha bersikap netral dan tak mau terlalu ambil pusing. Si tetangga saya akhirnya terlibat ikut terseret karena sering ngobrol dengan orang yang saling tidak bertegur sapa. Keluar dari grup whatsapp kompleks, tidak ditegur Bu Rt yang akhirnya membuat atmospher kompleks menjadi semakin tidak nyaman.

Ada beberapa orang yang memilih untuk tidak terlalu bergaul, menyendiri dan hanya bersua sekedarnya. Bahkan, mereka pun tidak ingin ikut arisan untuk ajang silaturahmi karena ketidaknyamanan dengan saling tidak bertegur sapa. Ternyata tidak hanya di kompleks saya, di kompleks teman dengan warga lebih banyak juga punya kesamaan cerita.

Latar belakang budaya yang berbeda dan tidak ada pengertian membuat hubungan menjadi tidak menyenangkan. Seharusnya sebagai manusia dewasa kita sadar kalau setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Menerima kekurangan, mencoba meredam emosi dan menghargai menjadi modal utama untuk bisa terus rukun dengan tetangga dan lingkungan. Sebenarnya gerah dengan semua ini, tapi tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa mendoakan mereka agar dibukanan pintu hati untuk bisa kembali menjalin silaturahim.

Comments