Menjadi Mandiri

Hidup bermasyarakat pasti akan bertemu dengan berbagai macam karakter orang. Berbagai macam karakter terbentuk dari latar belakang dan lingkungannya. Tinggal di tempat baru, bertemu dengan orang baru dan bergaul selalu menjadi cerita baru untuk saya.

Dua tahun yang lalu, saya pindah dari rumah mertua ke sebuah kompleks perumahan. Kami memilih membeli rumah yang sudah siap huni karena tidak ada biaya untuk renovasi ketika itu. Pas saat Nada umur dua tahun, Allah memberi kami rezeki sebuah rumah, meski masih dengan jalan meminjam uang di kantor suami. Masuk dengan perlengkapan seadanya yang diberi mertua karena kami sebelumnya tinggal di rumah mertua.

Kompor dikasih kakak yang dapet doorprise dari kantornya. Tabung gas dapet dari kakak yang nggak mau pake tabung gas 3kg karena banyak yang bocor. Sisanya dari mertua yang masih bisa dipake. kasur dan lemari dikasih waktu kami menikah. Alhamdulillah, kami hanya meambah beberapa yang memang dibutuhkan saat itu seperti kipas angin, magic com, setrika, dan tv yang memang sudah ada sejak belum menikah. Rumah pun terisi barang secukupnya dan sudah cukup untuk tinggal. Nggak perlu merenovasi, hanya memperbaiki sedikit kebocoran yang ada karena sudah di cat ulang oleh yang jual.

Pertama pindah rumah, sebelah rumah masih renovasi dan banyak rumah kosong di gang tempat kami tinggal. Kebetulan kami mendapat rumah paling ujung. Setahun pertama, masih cukup ramai karena dua rumah di depan ada yang kontrak, tapi hanya satu tahun pertama saja. Selanjutnya, sepi. Namun, tidak pernah merasa kesepian meski sering ditinggal pulang malam oleh suami. Berdua dengan si Mbak, yang waktu itu memang belum ada si adek.

Tak lama, si Ayah dipindah ke Sembalun. Seminggu sekali baru bisa pulang. Dia meminta kami untuk menginap di rumah ibunya di Ampenan karena khawatir kami berada di rumah hanya berdua dalam keadaan lingkungan yang sepi. Yang mengontrak di depan rumah dan sampingnya pun sudah berhenti. Tinggal kami di ujung yang menjadi penghuni gang ujung. Setiap Senin si Ayah berangkat ke Sembalun yang berada di bawah Gunung Rinjani, siang atau sorenya, saya dan si gendhuk ke rumah Mbahnya di Ampenan. Jum'at pagi, kami kmebali ke rumah dan malamnya baru si Ayah datang. Rumah hanya dihuni Sabtu dan Minggu.

Banyak yang menyayangkan kepindahan kami ke rumah sendiri. Banyak orang yang bilang kasihan Mbahnya yang cuma berdua di rumah besar. Namun, kami merasa lebih nyaman berada di rumah yang sederhana. Meski fasilitas pun terbatas, rasanya bisa mandiri itu lebih menyenangkan. Kami bisa merasakan susah bersama, bersama merasakan yang dinamakan 'makan nggak makan yang penting kumpul'. Di sanalah indahnya bersama. Nikmatnya kesederhanaan dalam ada dan tidak ada.

Menepis semua nyinyiran netizen julid yang ikut campur urusan kami. Yang terus kompor menyalahkan kami yang memilih rumah sendiri yang jauh dari orang tua. Saat suami jauh seperti ini harus repot bolak-balik. Padahal, kalu tidak dipaksa suami, saya pun berani tinggal di rumah berdua saja. Namun, dia khawatir pada kami, apalagi kami pernah kecurian tabung gas.

"Kenapa sih pindah? Rumah ibu besar begini. Nggak ada temen juga ibunya." Netizen paling julid, tetangga ibu mertua ini yang sering nyinyir pada kami.

Kami hanya menjawabnya dengan senyum. Jawaban apapun pasti dianggap salah kalau sudah pertanyaannya menyalahkan seperti itu. Mereka yang rumah tangga baru pasti merasaka seperti kami. Merasakan bagaimana ingin mandiri. Ketika berada di rumah mertua itu tidak sebebas di rumah sendiri. Semua diatur, semua harus ikut aturan yang punya rumah dan privasi pun terbatas. Secara tidak langsung, berada di rumah mertua membuat kita bergantung dengan mereka. Membuat kedewasaan kita sedikit ternggut karena ada sosok orang tua disana.

Tiga tahun di rumah mertua sudah cukup bagi kami belajar banyak. Kini, kami harus mandiri. Memutuskan dan memikirkan semua sendiri. Dan Alhamdulillah, si adek lahir di rumah kami yang masih sederhana. Masih belum berubah sejak beli. Hanya sedikit merapikan halaman agar terlihat lebih luas dan rapi saja.

Yang paling penting dari mandiri adalah kami bisa lebih leluasa membicarakan komitmen kami. Membahas bagaimana mendidik anak-anak, menyamakan persepsi tentang mendidik anak-anak. Membicarakan semuanya lebih leluasa dan terbuka, terutama soal keuangan. Kami tidak perlu malu dengan orang lain saat membicarakan hal yang sensitif dan kami pun lebih bisa menghargai satu sama lain. Ketika satu kesulitan, yang lain harus menjadi support system yang bisa diandalkan. Begitu pula saat ada selisih pendapat, kami tidak bisa lama tidak saling sapa karena kami saling membutuhkan satu sama lain.

Semoga tetap bisa menjadi keluarga yang selalu belajar menjadi lebih baik menuju ridhoNya. Semoga tetap diberi hidayah oleh Allah untuk senantiasa berada di jalan yang benar. Menjadi teladan dan membimbing anak-anak yang menjadi amanah yang kelak kami pertanggungjawabkan.


Comments