Keputusan setiap Rumah Tangga


Kali ini saya hanya ada sedikit cerita tentang kisah poligami di sekitar saya. Dari keluarga suami, ada beberapa sepupuya yang akhirnya memutuskan untuk menikah lagi dan bercerai dengan istri sebelumnya dengan beberapa masalah. Ada yang tidak punya keturunan, ada juga yang memilih menikah lagi karena si istri memiliki dominasi lebih besar dalam hal ekonomi dan satu lagi memilih poligami karena istri pertamanya kurang peduli dengan keluarganya.

Sebelum melabeli mereka dengan opini pribadi, lebih baik menghormati keputusan mereka. Mereka pasti punya latar belakang yang kuat untuk memutuskan apa yang terbaik dengan rumah tangganya. Orang luar tidak pernaah tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga mereka. Ada banyak orang yang menyalahkan mereka yang akhirnya memutuskan untuk bercerai dengan isri sebelumnya dan menikah lagi. Apalagi kalau kehidupannya tidak lebih baik dengan bersama istri yang baru. 

Nah, saya tipe orang yang daripada menghakimi melabeli mereka lelaki nggak setia atau istri perebut suami orang, saya lebih suka menguak latar belakang mereka mengambil keputusan itu. Rumah tangga itu dibangun oleh dua orang, jadi kalau terjadi apapun dengan rumah tangga itu, keduanya pasti andil, bahkan ada beberapa yang keluarganya pun menjadi salah satu andil terbesar dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangganya.

Ada yang sudah lama menanti buah hati, akhirnya memutuskan untuk berpisah dan sudah mendapatkan pasangan masing-masing. Si lelaki tidak bisa memberikan keturunan, akhirnya menikah lagi dengan janda yang sudah memiliki anak. Si perempuan yang menikah lagi akhirnya memiliki keturunan. Bisa jadi, itulah alasan mereka memutuskan untuk berpisah. Mendapatkan bahagia dengan cara yang lain. Kita tidak pernah tahu sakitnya mereka memutuskan untuk berpisah, kita tidak pernah tau galaunya mereka saat itu, atau banyak latar belakang lain yang mendasari mengambil keputusan berpisah daripada mengangkat seorang anak untuk menemani sepi mereka. Biarlah mereka bahagia dengan keputusan mereka.

Pasangan yang lain memutuskan untuk menikah dengan gadis yang lebih muda. Anak-anak dari istri pertamanya sudah tumbuh dewasa, istrinya memiliki pekerjaan yang cukup bagus. Memiliki jabatan yang penting di tempatnya bekerja. Namun, akhirnya dia memilih untuk berpisah dan menikah lagi dengan keadaan ekonomi yang harus memulai semua dari awal. Kembali ke rumah orang tuanya, memulai usaha dari awal dan memiliki banyak anak yang masih kecil.

"Bikin repot diri sendiri."
"Udah enak istri kerja, anak besar tinggal cari uang seadanya aja. banyak gaya."
"Cucu seumuran sama anaknya."

Banyak yang melabeli mereka. Banyak yang tidak mengetahui latar belakang mereka mengambil keputusan itu. Mungkin, si suami butuh dihargai. Ketika istri menjadi dominan dalam hal ekonomi, pasti akan muncul ego yang emmpengaruhi pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Mungkin juga si suami ingin membuka usaha baru, tapi si istri tidak bisa leluasa mendampingi karena tuntuttan pekerjaan. Mungkin juga tuntutan pekerjaan membuat si istri tidak bisa melayani suami dan mengurus anak seperti yang diharapkan bersama. 
Meski banyak rumah tangga yang tidak sampai berpisah menghadapi masalah seperti ini, tapi kalau visi dan misi sudah berubah dan ditambah ego yang tak bisa mengalah, pasti akan sulit untuk mempersatukan. Daripada rumah tangga menjadi semakin tidak baik, mungkin mereka memutuskan berpisah untuk bisa mencapai tujuannya. Rumah tangga itu harus memiliki tujuan yang sama dan cara yang disepakati untuk mencapai tujuan tersebut. Kalau tujuannya sama, tapi tidak sepakat cara mencapainya, itu juga tidak mudah untuk menjalaninya.
Lain dengan yang memutuskan berpisah, ada juga yang memutuskan untuk poligami. Meski di Lombok sudah biasa mereka yang mampu biasa dipoligami, tapi poligami masih menjadi issue yang sensitif. Ada seorang saudara yang akhirnya memutuskan untuk poligami saat istrinya sedang mengambil spesialis di Jawa. Mereka sama-sama dokter, tapi si istri diterima untuk melanjutkan spesialis, sedangkan si suami belum. Selama mengambil spesialis di Malang, mereka LDM (Long Distnase Marriage). Satu buah hati mereka pun dibawa si istri dengan mengontrak rumah di dekat tempat kuliah.

Karena orang tua si suami cukup berada, mereka yang emmbiayai sekolah dan kehidupan si istri selama menempun sekolahnya. Selain sudah diberikan rumah dan mobil di Lombok, si istri dikontrakkan rumah dan dibelikan mobil lagi untuk mempermudah mobilitas mereka. Keduanya masih disupport oleh orang tua si suami dalam hal finansial. Tanpa disangka, si suami sudah menikah lagi dengan seorang asistennya. Mereka mulai dekat dan merasa nyaman saat si perempuan ini menjadi asisten di tempat prakteknya di rumah.

Mereka menikah secara agama dengan disaksikan oleh keluarga si perempuan. Setelah mereka memiliki anak hampir satu tahun, barulah semua terkuak. Si istri mencari informasi dan akhirnya mengetahui kebenaran feelingnya. Saat seperti ini, banyak yang melabeli mereka.

"Makanya sering dijenguk suaminya, jadi kan nggak begini."
"Alasan aja nggak dikasih nafkah, padahal nafsu."
"Gitu sih kalau semua udah dipenuhin orang tua, jadi bisa punya istri lagi. Gajinya kan utuh. Semua dibeliin, semua dibiayain."
"Makanya jadi istri jangan cuek sama suami. Jangan cuek sama anak. Pantes aja ditinggal nikah lagi, nggak perhatian sih."

Tidak ada yang tahu alasan mereka akhirnya memutuskan mengambil keputusan itu. Mungkin karena memang kurang perhatian istri dan memang istri pertamanya kuraang peduli dengan anak dan keluarga si suami, si suami mencari tempat lain mendapatkan ketenangan. Meski istri keduanya ini akhirnya bercerai dengan suami pertamanya untuk bersama orang lain, itu pun juga hanya mereka yang tahu alasannya.

Setelah menikah  lagi, si suami yang dulu sombong jarang menyapa keluarga, menjadi lebih ramah. Menjadi lebih peduli degan keluarga dan mungkin dia juga mencari pendamping yang bisa mengurus dan memperhatiskan putra sulungnya yang kurang diperhatikan ibunya sendiri. Memilliki istri dari kalangan biasa saja, tidak bekerja dan tidak banyak menuntut mungkin menjadi salah satu pertimbangannya. Ketika istri pertamanya tak bisa berbaur dengan keluarganya, si istri kedua justru bisa memperhatikan keluarganya. 

Mungkin itu yang terbaik menurut mereka, mungkin mereka juga ingin bahagia dengan cara mereka. Seperti menonton film, penonton berkomentar apapun, tak akan mengubah jalan cerita dan ending cerita itu. Mereka hanya bisa menyaksikan, mengambil hikmahnya, tanpa perlu mencampuri keputusan mereka. 

Ada satu lagi cerita dari tetangga yang kotnrak di depan rumah. Mereka baru menikah. Si suami orang Jawa yang sudah beristi dan memiliki anak di Jawa. Menikah lagi dengan orang Lombok dan mengontrak rumah di dekat rumah saya. Si istri pertama juga belum tahu kalau suaminya menikah lagi. Dulu, istrinya sering ke Lombok, tapi sejak suaminya menikah lagi, si istri tidak pernah lagi ke Lombok. Si suami yang pulang dua tiga bulan sekali. Si istri pertama tidak bisa ikut suaminya ke LOmbok karena bekerja dan anak semata wayang mereka masih sekolah di tempat tinggal mereka.
Tak lama berselang, si istri kedua bercerita kalau dia menikah dibawah paksaan. Untuk melindungi keluarganya karena pernah diancam akan dilukai kalau tidak mau menikah. Si suami tidak bisa tegas dengan istri pertamanya. Apapun diminta istri pertamanya, dituruti saja. Sedang dengan istri keduanya, dia merasa dihargai. Si istri kedua ini tidak pernah menuntut dan mau dibimbing untuk menjadi yang lebih baik. 

Mencari pendamping yang mau mengerti dan diatur olehnya. Mencari sosok yang mau menghargai dirinya tanpa banyak menuntut. Mendapatkan kebahagiaan dihargai. Mendapat kebnyamanan dimengerti dan bahagia dalam kesederhanaan. Kita tdiak pernah tahu alasan mereka memilih itu. Mengambil keputusan untuk menikah lagi atau poligami. Tidak perlu melabeli mereka dengan apapun, cukup menjadi orang yang baik untuk mereka. Mungkin ada hikmah yang bisa kita petik dari kisah mereka.
x




x

Comments