Kebutuhan atau Gaya Hidup?

Hidup di kota berbeda dengan hidup di desa. Aku begitu merasakan perbedaan hidup di beberapa tempat yang berbeda. Bapak yang bekerja sebagai konsultas jalan tol membuatnya harus berpindah-pindah tempat bertugas ketika ada proyek sesuai dengan tempat beliau ditugaskan. Namun, karena harus sekolah orang tua kami memutuskan untuk tak lagi ikut bapak berpindah-pindah lagi dan memilih stay di Ngampin, Ambarawa, tempat kelahiran bapak. Bersama ibu dan adikku, bapak yang harus bolak-balik pulang sebulan sekali ataupun dua kali.
Meski tergolong desa, tapi tempat tinggalku tak jauh dari kota. Selain itu, kecamatan tempatku tinggal bisa dibilang tak terlalu ketinggalan jaman karena semua kemajuan teknologi dan perkembangan arus globalisasi masuk cukup pesat dan mudah diterima di daerahku. Apapun yang dibutuhkan sudah bisa kutemukan. Budaya gotong royong dan kebersamaan juga cukup menyenangkan sehingga nyaman untuk tempat tinggal. Namun, sudah mulai terpengaruh dengan arus individual yang menjalar di kehidupan masyarakat kota seperti budaya menyumbang saat orang punya hajat. Kami biasanya menuliskan nama pada amplop yang berisi uang yang diberikan pada saat ada undangan hajatan. Biasanya yang punya hajat akan membalasnya ketika kita punya hajat dengan nominal yang minimal sama.

Setelah pindah ke Lombok, di sebuah desa yang ada di Lombok Timur, semua terasa berbeda dengan Ambarawa. Semua masih benar-benar alami. Kesederhanaan dan kebersamaan begitu kental terasa di desa ini. Tak ada sumbangan yang harus ditunjukkan dan semua yang diberikan kepada orang lain benar-benar berdasar keikhlasan. Kalau ada yang bisa diberikan, kita berikan, tapi kalau tidak ada ya tiak perlu memaksakan. Sedikit yang bisa dibagi dan dimakan bersama, tapi kalau tidak ada saling berbagi kebahagiaan. Yah, kesederhanaan dan apa adanya yang kupelajari di tempat ini. Tak banyak tuntutan dan hidup bergitu terasa nyaman dengan kehidupan beragama yang taat. Yang penting masih bisa menjalankan ibadah, cukup untuk bisa membuat hidup bahagia tanpa banyak atribut keduniawian yang harus dipenuhi. Ada tempat tinggal dan bisa makan sudah cukup bahagia.

Menikah dengan orang Mataram, kini aku tinggal di sebuah jantung kotanya pulau Lombok. Perbedaan kembali terasa. Kebutuhan hidup di kota bukan hanya tempat tinggal dan makan. Namun, mobilitas yang tinggi dan keadaan membuat kebutuhan menjadi lebih banyak. Harga kebutuhannya pun lebih besar dibanding di desa. Seperti misalnya kalau di desa kita bisa membeli tanah beserta bangunan hanya dengan harga tiga puluh juta, di kota sudah dua kali lipat lebih harganya. Munculnya BTN juga menjadi budaya di kota karena kebutuhan perumahan yang semakin banyak dan bisa membeli dengan cara mencicil setiap bulan sampai lunas. Orang yang semakin banyak ke kota karena pekerjaan mereka, membuat mereka membutuhkan tempat tinggal untuknya dan keluarganya sehingga mereka lebih memilih membeli rumah di kota dibanding harus membeli rumah di desa meski harganya lebih murah karena ongkosnya pun mahal. Tak beda jauh dengan kebutuhan akan kendaraan di kota yang tak hanya butuh motor, tapi juga butuh mobil untuk menghindari polusi bagi mereka yang memiliki banyak anggota keluarga yang di desa tak terlalu dihiraukan karena mobilitas yang tak terlalu tinggi.

Comments