Bromo without Love

Finally, i’ve got holiday. Meskipun tak seperti yang direncanakan, tapi paling tidak aku bisa ketemu bapak nanti. Pengen banget nyekar di makan Mbah Kakung yang belum pernah kukunjungi, tapi sepertinya harus rela pupus karena aku masih belum sanggup melihat Ambarawa seutuhnya. Bukan hanya masalah uang, tapi sepertinya Ambarawa masih menjadi momok yang menyeramkan untukku. Kenangan pahit yang masih tersisa disana masih belum sanggup kurasakan kembali. Semuanya terasa masih begitu menyayat, belum kering luka karenanya.
Perjalanan cuti berjalan lancar meski tak seperti rencana awal. Semua tak seperti keinginan untuk pulang dengan senyum dan kebahagiaan. Keberangkatan ke Bromo sengaja untuk mengaburkan rencana cuti pulang yang sebenarnya hanya ingin kumanfaatkan untuk sejenak menenangkan diri di Surabaya. Rencana mampir ke tempat beberapa teman pun sepertinya harus dibatalkan karena waktu yang tak cukup.

Kami meluncur dari Lombok tanggal 6 Juni 2013 pagi. Aku, Tami dan Lia memutuskan untuk naik pesawat ke Surabaya. Rencana liburan ke Bromo ini sebenarnya obrolan iseng dadakan yang akhirnya ternyata terwujud karena kami memperoleh cuti di hari yang sama. Dari Surabaya nanti bapak yang menjemput kami kemudian mengantar kami ke Malang.

6 Juni 2013. 
Ampun deh, kayaknya bakalan malapetaka pagi ini. Lia juga di sms belum bales. Akhirnya dalam keadaan pasrah karena mau minta bantuan orang lain pun udah terlambat. Mas Be mengangkat telfon jam 06.15.

“Alhamdulillah,”

Benar saja dia baru bangun tidur. Perasaanku makin nggak enak padanya. Lia menunggu didekat gang masuk rumah. Melihat raut wajah Mas Be yang nggak ceria aku makin merasa bersalah.

“Hampir Mas lupa tadi,” hatiku mulai rapuh. Berarti memang tak pernah berniat mengantarku. Aku makin berasa bersalah dengan keadaan ini. Seharusnya aku tak mengiyakan ide ini. Mencoba mengurangi rasa bersalah dengan menyodorkan kaleng kopi nggak hangat yang sengaja kubeli semalam untuknya.

“Mau dibukain mas?”

“Nggak usah deh nanti aja, nggak ada yang anget ya,”

“Maaf, takut tumpah mau bikinin yang anget,” kataku yang dibalas senyuman 
darinya. Menatap jalanan dengan sangat serius. Entah apa di otaknya, tapi yang pasti aku benar-benar menyesal berada di dalam mobil itu.

Kukecilkan stereo mobil untum memutar musik di handphoneku.
Suara khas boy band nya Brian berbunyi mengisi kesunyian suara dalam Honda Jazz putih yang biasa dipinjam dari bibi nya.
            I wasnt perfect, that a lot a stupid thing
            She cange my life she clean me up she found my heart like only a women can
She push me up when she knows im sad like only a woman can
Suara Brian mengalun mendominasi suara di dalam mobil. Alunan musik yang menyenangkan membuat pagi menjai lebih terasa lebih ceria.
Mas be nggak mau kalah, dia sedang menyukai lagunya Bruno mars ‘When I Was Your Man’. Meski bukan lagu baru tapi lagunya lumayan juga buat suasana jadi lebih menyenangkan. Mas Bruno selalu bisa bikin suasana romantis dengan suara khasnya dan iringa musiknya. Nggak jauh sama Om Craig David yang banyak kuikuti perkembangannya.
Kami diam.
            
That I should have bought you flowersAnd held your handShould have gave you all my hoursWhen I had the chanceTake you to every partyCause all you wanted to do was danceNow my baby's dancingBut she's dancing with another man
Dua lagu tadi diputar berkali-kli sampai di bandara. Ga peduli Lia pusing dan bosen, yang penting kami menikmatinya. Menikmati musik yang terus berputar mengiringi perjalanan kami sampai di Bandar Internasional Lombok (BIL) di Praya, Lombok Tengah yang baru dua tahun terakhir ini digunakan. Bandara yang sebelumnya di Selaparang, Mataram dipindahkan ke tempat yang katanya standar Internasional ternyata masih banyak pedagang asongan di tempat parkir dan depan bandara.
Untunglah tanpa delay jadi kami bisa langsung naik pesawat tanpa harus menunggu lama. Jam 8 lebih 5 menit kami check ini ternyata udah dapet bangku paling belakang. Seorang petugas mengarahkan kami untuk sit 1-20 lewat pintu depan sedangkan sit 20 dan selanjutnya lewat bagian belakang yang artinya kami harus turun tangga dan lewat bawah lapangan terbang. Lia memastikan apakah kami lewat jalan yang benar dan diiyakan oleh si pemberi penjelasan. Ternyata kami salah pintu. Nomor kami paling belakang tapi kami lewati pintu depan jadilah kami terjebak macet di tengah pesawat dan diomel bebrapa penumpang. Kami 

Cuma nyengir-nyengir gajelas.
Lia yang awalnya mengincar sit dekat jendela kurang beruntung karena buru-buru jadi akulah yang kebagian deket jendela. Meski sedikit cemberut, tapi akhirnya pasrah juga. Saat pramugari dan pramugara menjelaskan cara penggunaan alat keselamatan, Tami dengan muka temboknya ngintip dari celah kursi dan melambaikan tangan pada pramugara yang berada tak jauh dari tempat kami duduk. Kami mencoba meredam tertawa saat melihat mas pramugaranya sedikti salting tapi mencoba stay cool. Beberapa kali kami cekikikan yang semoga nggak disebelin sama tetangga-tetangga sebelah kami.

Sampai di Juanda, bapak sudah menunggu dengan seorang sopir kantor akan mengantar kami ke Malang sebelum naik Bromo. Rindu itu membuncah. Meski hanya cium tangan, tapi rindu ini meluap disana. Hampir setahun tak bertemu beliau sejak lebaran tahun lalu dan beliau terlihat lebih tua. Mataku berkaca-kaca, tapi malu untuk menangis. Aku ingin memeluk beliau, tapi beliau selalu dingin dengan semua kerinduan yang selalu kami luapkan dalam diam.

Ada sebuah sesal yang tersalur dari mencium tangan beliau. Ada sebuah harapan yang belum bisa kuwujudkan darinya. Membahagiakan beliau dengan melihatku menikah. Aku bahkan belum bisa menjawab pertanyaannya siapa yang serius denganku saat ini. Melihat beliau tersenyum puas adalah sebuah kebahagiaan tak terhingga, tapi sepertinya senyum itu harus ditahan karena bahkan sampai saat ini masih belum ada kepastian tentang hubunganku dengan seseorang.

Menjemput Sukma di belakang BNI Surabaya, kami segera meluncur ke Malang. Obrolan tentang banyak hal terjadi sangat seru dengan Sukma. Mulai dari cowok yang ada disekitar kita sampai perkembangan teman-teman. Rasanya baru sedikit yang kami ceritakan, tapi kami sudah kehabisan bahan obrolan. Kami tertidur sepanjang perjalanan ke Malang. Semua saluran radio mengabarkan kalau Tol Porong arah Malang macet dan kami terjebak di sana. Sampai di Malang, hujan turun rombongan tak terlalu deras. Kami istirahat sebentar untuk sholat lalu melanjutkan perjalanan ke kontrakan Doni, adik sepupu Tami yang kuliah di kota ini.
Perjalanan kali ini akan kumanfaatkan dengan baik untuk bertemu orang-orang yang kurencanakan. Menemukan kontrakan Doni, semua istirahat sedangkan aku ikut Lia keluar kerumah kakaknya sekalian mencari semangkok bakso Malang yang sudah kubayangkan sejak berangkat. Aku harus memuaskan perut dan otakku liburan kali ini. Membebaskan dari segala penat yang ada, membebaskan dari kekecewaan janji seseorang yang sepertinya hanya akan menguap dan menyiapkan diri untuk melepaskannya dari lingkaran setan ini.

Tami mengeluarkan isi kardus yang dititipkan Bibinya untuk Doni yang katanya ada makanan siap santap. Benar saja, kotak sepatu penuh dengan nasi ditambah satu plastik tanggung berisi ayam goreng dan sambal tempe di plastik yang lain. Sukma yang berniat keluar cari makan hujan-hujan seperti ini kuminta tetap tinggal dan makanan yang ada. Tami mempersiapkan makanan, aku dan Lia keluar. Gerimis masih setia mengguyur Malang yang tetap tak menyurutkan niatku mencari bakso.

“Mbak, agak jauh rumah kakakku,”

“Gakpapa, yang penting ketemu bakso,” kataku yang udah sakau Baso Malang.

Gerimis terasa makin deras terasa. Lia memilih lewat jalan kampung karena kami hanya menggunakan satu helm. Malas juga ketemu lampu merah di jalan utama menambah lama perjalanan. Lia mulai kedinginan karena nggak pakai jaket. Aku menawarkan untuk menggantikannya, tapi dia menolak.
Lia membelokkan stang motor ke sebuah gang di deretan perumahan yang tertata rapi. Berhenti di depan sebuah warung bakso yang katanya mie ayamnya juga enak. Aku tetap pada pendirian awal, bakso Malang sedangkan Lia memesan mie ayam. Taklebih dari lima menit kami sudah menghabiskan isi mangkok karena kedinginan. Dan kerinduanku pada bakso kota ini terobati juga.
Kami melanjutkan perjalanan ke rumah kakak kandung Lia yang bekerja sebagai guru di kota ini bersama suaminya yang berasal dari Jember. Sebuah rumah kecil di perumahan itu terlihat begitu penuh dengan orang. Tak jauh beda dengan rumah Mbah di Lombok. Kecil dan penuh sesak, berbeda dengan rumah di Ambarawa yang cukup luas dan tenang. Kehangatan keluarga itu membuatku merasa rindu pada keluarga di Ambarawa. Sudah berada di pualu ini tapi tak ada waktu untuk mampir ke Ambarawa.

Lia mengambil beberapa baju dan kerudung milik kakaknya dan sebuah kamera DSLR yang dipinjamnya untuk perjalanan kami ke Bromo nanti. Rencana awal kami akan kesana naik motor yang dipinjamkan Doni dari teman-temannya lalu menginap menunggu malam di Probolinggo. Sebelum pagi kami akan naik ke gunung untuk menyambut mentari pagi menyapa. Namun, karena hujan tak kunjung reda, sepertinya kami akan menyewa mobil saja untuk naik. Kami tak ingin ambil resiko denagn formasi 2 cowok 4 cewek.

“Li...temenku udah nunggu di Matos,”

Kubuka sms yang baru masuk dari Yusrina. Aku ingat janjian sama temen SMP dan SMA ku di Matos (Malang Town Square) yang tak jauh dari kontrakan Doni. Aku ingat dia memintaku menunggu 15 menit, tapi aku memilih ikut Lia dulu beli bakso.

-Sebentar Yus, aku nemenin temenku kerumah kakaknya dulu baru ke Matos. Sori ya, kamu jadi nunggu-

-Gapapa, aku baca-baca dulu di Gramedia, nanti kalau udah balik sms ya-

-OK-

“Yaudah sekarang aku anter Mbak ke Matos,” kata Lia.
Kali ini aku yang memegang kendali motor karena Lia belum terlalu lincah mengendarai dan terlihat ragu. Hujan semakin deras mengguyur, berharap kami nggak sakit setelah hujan-hujanan.

Sampai di Matos, Lia memilih pulang mandi sedangkan aku melanjutkan ngobrol sama Yusrina yang udah 2 tahun nggak ketemu. Memilih food court jadi tempat ngobrol yang penuh sesak. kami harus keliling cari tempat duduk kosong setelah memesan makanan. Kami masih tak berubah, tak pernah asik ngobrol sama Yusrina meski kami pernah sebangku. Obrolan kami berkisar tentang kegiatan kami sekarang dan beberapa teman yang sudah lost contact. Meita, Ica dan Yusrina lebih sering bersama sedang aku dan Fafa memilih berjalan dengan Adi, Ian dan Irsa karena kami lebih sering berbeda pendapat.

Sebelum maghrib aku memutuskan pamit karena dijemput Lia. Tak banyak yang kubicarakan dengan Yusrina. Namun, cukup untuk menyambung silaturahim dan tak ada kesan apapun. Yusrina menunggu makanan buka puasanya datang, aku pamit duluan. Aku kebingunga mencari tangga turun di mall yang baru pertama kumasuki ini. Lia sudah menungguku di depan mall.

Lia memperlihatkanku ada sebuah plang penyewaan mobil promo. Mungkin bisa menjadi solusi untuk perjalanan Bromo kami yang sepertinya Sukma sudah mulai kecewa karena persiapan kami kurang matang. Memang kami tak pernah mempersiapkan apapun, hanya membawa diri dan berharap bisa sampai sana dengan backpaker. Kami berbelok di sebuah rumah yang di halamannya berderet beberapa mobil dengan plang rentcar promo mulai Rp 200.000 dengan sopir. Rumah itu sepi dengan semua pintu tertutup rapat. Ada sebuah tombok bel yang agak besar diatasnya bertuliskan ‘cukup tekan sekali’ yang kutekan sekali seperti perintah yang ada disana. Namun, lima menit kami menunggu tak ada jawaban sama sekali. Kami pun mencoba menghubungi beberapa nomor telfon yang tertera di dinding kaca yang terdapat ruang berukuran 2 x 1 m itu di teras. Sepertinya ruang operator rentcar.  Tak ada jawaban dari telfon, aku pun akhirnya memencet bel itu sekali lagi. Tubuh kami sudah kedinginan terguyur hujan dan kami belum sholat maghrib.

Seorang wanita separuh baya bertubuh agak gemuk pendek membuka pintu. Akhirnya ada kehidupan juga setelah kami hampir putus asa, tapi Lia terus berusaha meyakinkanku untuk mendapatkan mobil malam ini.

“Cari siapa mbak?”

“Saya mau sewa mobil,” jawabku.

“Oh, ya tunggu sebentar,”

Wanita paruh baya itu masuk kembali dengan menutup pintu.. Kami menunggu di teras yang akhirnya bisa duduk juga di bangku teras. Seorang wanita berkulit putih bersih setangah baya yang terlihat lebih muda dan lebih gemuk juga sedikit lebih tinggi dari yang sebelumnya menyambut kami dengan senyum dan jabatan tangan.

“Gimana mbak? maaf saya baru goreng di belakang,”

“Mau sewa mobil mbak buat ke Bromo malem ini,” Lia tanpa basa- basi 
menyelorohkan niatnya.

“Oh...malem ini? kalau malem ini nggak ada yang bisa mbak, semua mobil saya keluar. sopirnya juga nggak ada,”

“Oh...” kami lesu.

“Atau tinggalkan nomor telfon dulu, nanti paling lama sejam saya kabarin kalau ada yang balik saya hubungi, mbak?”

“Tapi masih belum pasti ya mbak?”

“Iya, saya nggak bisa janji soalnya semua keluar. ini aja yang ke Bromo Cuma drop pagi sampai sekarang belum balik juga. Bromo macet mbak,” kami lemes. 

“Sebentar saya telfonkan dulu mbak,”

Ia meraih handphonenya mencoba menghubungi suaminya, mencari kemungkinan mungkin ada yang bisa membawa kami malam ini. Ia mematok 550ribu bersih termasuk bensin dan sopir. Kami sepakat. Namun, ternyata belum rezeki kami, semua penuh dan tak ada yang bisa membawa kami malam ini, kalau besok baru bisa.

“Maaf sekali mbak,” kata Mbak Hesti sambil menggeleng. “Dari mana ini?”

“Dari Lombok, mbak. makanya bela-belain kesini Cuma buat naik Bromo,” kataku mencoba mencari celah kasihan Mbak Hesti dan berharap semua berubah menjadi kabar baik. Sayangnya mbak Hesti udah buntu juga.

“Oh, sayang banget ya. Lain kali aja deh ya mbak, maaf. Besok lagi kalau ke Malang hubungi saya aja,” katanya mengulurkan kartu namanya.

“Iya, mbak makasih,” kami pamit dengan membawa kekhawatiran gagal ke Bromo tapi masih ada satu nomer yang Yusrina kasih.

Sampai di kontrakan, semua mata tertuju pada kami. memberikan kabar kecewa yang harus mau tak mau harus kami sampaikan. Sukma mulai terliaht tak nyaman kasian juga udah ngajak dia tapi malah semua berantakan. Beruntung ada Bang Eng (Katanya namanya Aan), temen Tami naik gunung di Lombok yang ternyata orang Malang asli, dia mencoba mencarikan mobil yang bisa membawa kami dari Malang sampai ke Bromo bolak balik jadi kami nggak perlu bawa motor sampai ketempat sewa mobil dan nggak perlu ganti mobil di Bromo yang sekarang nggak boleh dengan mobil pribadi sampai ke lautan pasir.

Kami harap2 cemas mendengar Bang Eng masih melobi, aku memutuskan untuk mandi sedang Sukma keluar sebentar sama Wako, adiknya. Akhirnya Bang Eng dapet juga troper yang menampung kapasitas kami semua. Jadilah kami akan berangkat jam 12 malam dari Malang untuk ngejar sunrise di atas gunung.

Malam ini, jalan-jalan ke Matos dulu cari makan karena setelah kami sadar ternyata nggak ada yang makan dari pagi. Sukma sama Wako entah kemana mungkin saat kami menemani Lia mencari sandal yang nggak ada yang pas karena ukuran kakinya terlalu besar. Puas ngemil di Matos, kami pulang untuk istirahat sebelum perjalanan Bromo.

Cuma tidur 2 jam, kami harus siap-siap menakhlukkan Bromo. Alarm berbunyi, telfon dari Ka Ewin yang kuminta membangunkanku berbunyi bersamaan. Kulihat anak-anak masih pulas tertidur.

“Assalamu’alaykum...”

“Wa’alaykumussalam...”

“Berangkat jam berapa nanti?” suara yang sudah kurindukan padahal baru sehari berada jauh darinya.

“Jam 12 katanya,”

“Yaudah bangun, hati-hati kabarin abang terus ya. Jaket, sarung tangan, kaos kaki jangan sampe lupa,”

“Iya,” kataku dengan mata terpejam kembali rebahan.

“Ndul, bangun,”

“He’em,”

“Yaudah, Assalamu’alaikum”

“Wa’alaykumussalam,”

Tami bangun, Lia pun mulai bangun. Kubangunkan Sukma yang tidur belakangan di kamar Febri. Aku bahkan nggak tahu jam berapa Lia dan Sukma tidur dan terbangun dengan Lia berada di belakangku.

Cuci muka dan sikat gigi sebentar lalu prepare semuanya. Tami melempar jaket merah tebal yang kupinjam karena aku tak punya jaket tebal untuk menghalau dinginnya udara gunung. Kami sepakat bawa ransel kecil Tami dan membawa barang-barang yang penting-penting saja karena nggak lama berada disana. 
Dompet dan handphone plus kamera.

Semua ready, Bang Eng datang dengan troper sewaan kami. Keluar ke Matos dibonceng Bang Eng tadi aku baru tau kalau dia ternyata punya jasa travel utnuk hiking dan snorkling. Dia sedang membangun jaringan untuk di Lombok. Semua siap, aku pinjam sepatu Tami karena sepatu yang kubeli beberapa hari sebelum berangkat ternyata kekecilan.

Aku, Lia dan Tami duduk di kursi belakang sopir. Bang Eng di depan samping sopir. Sukma, Wako dan Doni duduk di bangku belakang. Mampir sebentar ke Indomaret untuk membeli beberapa minum, roti dan susu untuk amunisi menanti mentari menampakkan sinarnya. Kami memasrahkan semua ke Bang Eng untuk perjalanan kali ini karena dia yang tahu jalan.. Aku dan Tami membeli sekaleng nescafe moccacino untuk tetap bertahan selama perjalanan. Aku duduk persis di belakang sopir menikmati perjalanan pertama ke Bromo.

Jalanan yang landai mulai menanjak dengan pepohonan rindang di samping kanan kirinya. Udara mulai terasa dingin meski mobil itu tanpa AC. Semuanya diam, tinggal aku, Tami dan Bang Eng yang masih terjaga. Untuk mengusir bosan, aku memberi kabar pada Abang yang masih begadang nonton bola beneran atau entah sebenarnya terlalu khawatir padaku.. Ia terus menanyai keadaanku baik-baik saja atau tidak.

-dingin ya?dipake sarung tangannya sama penutup mukanya-

-udah abang, tenang..adk gapapa ko-

Padahal sudah kupakai dari tadi jadi terasa lebih hangat. Namun, rasanya udah kebelet pipis karena dingin ditambah kopi sekaleng udah habis. Jalanan mulai sedikit jelek dan menurun kemudian menanjak kembali. Ada dua trus besar yang kami dului tadi, katanya akan ada perbaikan jalan pagi ini. Bang Eng masih asik ngobrol pake Bahasa Jawa dengan sopirnya. Aku jadi kangen ngobrol dan olok-olokan dengan bahasa Jawa dengan teman-teman yang kayaknya nggak bisa ketemu kali ini.

Kami istirahat sejenak di sebuah tempat parkir jip. Mungkin ini yang dimaksud Pak Sis batas maksimal mobil pribadi yang kemudian harus menyewa jip. Aku turun untuk pipis sedangkan Tami mengeluarkan isi perutnya. Dia nyesel udah minum kopi sebelum makan apapun. Airnya bikin aku nggak mau pipis lagi. Sumpah dingin banget.

Kusempatkan memberi kabar dengan telfon Abang kalau udah hampir sampai. Banyak mobil parkir di tempat itu. kami diperbolehkan naik karena memang mobil ini adalah salah satu dari mobil sewaan untuk ke Bromo.Selesai semua ke kamar mandi, mereka baru sadar kalau udara terlalu dingin. 

Cuma aku yang bawa sarung tangan jadi yang lain beli sarung tangan dan penutup kepala di pedagang yang ada disana. Untung Abang selalumengingatkanku untuk membawa semuanya jadi udah anget duluan. 

Aaah...makin merindukannya.

Kami mulai melewati padang pasir yang diberi tanda tancapan bambu untuk penunjuk jalannya agar tidak tersesat. Padang ilalang sudah kami lewati, jalanan masih gelap dan mulai menajak kembali dengan kondisi jalan yang lebih buruk dari sebelumnya. Aspalnya banyak yang rusak. Sampai akhirnya mobil tak kuat naik di sebuah tikungan yang dijaga beberapa orang dengan kudanya. Separuh jalan aspalnya sudah rusak dan karena hujan jadi tanah di samping jalan aspal jadi terkikis menjadi lebih rendah. Jalan naiknya agak curam sekitar 20 cm. Dua kali mobil mencoba naik dipandu orang-orang yang berdiri disana, tapi tak bisa. Aku, Lia, Tami dan Bang Eng memutuskan untuk turun. Setelah tiga kali mencoba barulah mobil itu bisa naik. Tak jauh dari sana, kami akhrinya harus memulai perjalanan dengan kaki kami sendiri. Menanjak menuju tempat nongkrong nunggu sunrise. Berharap mentari mau menyapa kami pagi ini, tak seperti kata Bang Eng yang sudah bebrapa hari tak mau memperlihatkan sinarnya karena mendung.

“Kayaknya kalian sedikit beruntung, hari ini cerah,” kata Bang Eng sambil berjalan naik. Nafasku udah mulai ngos-ngosan.

“Semoga sampai nanti bagus cuacanya,” kata Tami yang nggak sengos-ngosan aku.

Beberapa tukang kuda mengikuti kami, menawarkan kuda seharga Rp 50.000 daripada jalan capek. Namun, aku udah bertekad untuk melaluinya dengan usahaku sendiri.

“Masih jauh Mbak, belum naik tangga. Kalau naik tangga nggak bisa pake kuda jadi sekarang aja naik kudanya,”

Aku udah nggak bisa menjawab. Jantungku berdegup kencang, nafasku ngos-ngosan. Kucoba mengatur dengan menghirup udara dari hidung mengeluarkannya lewat mulut. Namun, masih saja ngos-ngosan, kulirk Tami yang masih diam tanpa napas kayak anjing mengeluarkan lidahnya habis lari jauh. Mungkin karena aku kurang olahraga kayak kata Abang yang terus menyemangatiku untuk mau lari sore ditungginya. Alagai Tami juga udah pernah naik Rinjani jadi mungkin kalau mendaki segini doang kacang. Lia yang nggak bawa kaos kaki dan nggak mau dipinjemin Bang Eng meminta istirahat sejenak untuk memakai kresek menutup sepatunya yang basah kena hujan semalam.

Setelah melewati dua tikungan, jalan lebarnya habis setelah melewati sebuah tempat duduk panjang yang sepertinya sengaja disiapkan mungkin untuk istirahat. Hanya ada jalan setapak kecil mendaki bukit. Aku dan Tami mencoba naik, semoga ini jalan yang benar, tapi kalaupun tidak pasti Bang Eng memberitahu kami. benar saja Bang Eng teriak.

“Kalian mau kemana?disini aja” katanya.



Kami berdua menoleh, dasar sok tau. Haha...
Kembali turun yang untungnya belum terlalu jauh. Kami duduk di bangku panjang dari cor-coran semen yang ternyata sengaja dibuat untuk menikmati sunrise. Spot khusus sunrise. ada tangga naik juga di arah berlawanan kami belok tadi untuk menikmati sunrise dari tempat yang lebih tinggii. Namun, Bang Eng meminta kami untuk menunggu di tempat itu saja. Sama saja view nya.


Udara terasa lebih dingin setelah kami duduk. Doni menyalakan lempengan parafinnya, Tami sama Bang Eng mencari ranting-ranting patah untuk membuat perapian kecil menghangatkan badan. Namun, sayangnya nggak banyak ranting yang besar jadi perapiannya nggak tahan lama. Sukma sama Wako milih beli pop mie di pedangang yang berderet disana menjual kopi, mie dan beberapa camilan untuk menghangatkan badan. Aku sudah memasang semua alat penghangat badan yang ada yang dipesan Ka Ewin termasuk penutup mulut, tapi masih dingin. Begini rasanya ternyata naik gunung.

Mau kabarin Ka Ewin takut dia udah tidur karena tadi kusuruh istirahat saat telfon terakhir. Kami jalan mondar mandir untuk menghangatkan badan. Nggak lama, beberapa orang datang dan jadi makin ramai. Sepertinya pendakian utama yang dibilang Bang Eng emang penuh makanya semua lari kesini. Katanya emang jalanan akses ke Bromo semua macet dan penuh. Musim libur juga nih makanya penuh. Walaupun bukan hari cuti bersama tapi mungkin mereka juga punya ide yang sama dengan kami meminta cuti untuk bisa dapet libur lebih lama.

Langit mulai cerah, semburat jingga mulai terlihat membentuk garis di langit biru tanpa bintang maupun rembulan. Kamera sudah mulai banyak yang mengambil gambar. Baru terlihat kalau ada beberapa tourist asing dari Jepang yang menggunakan kamera digital Samsung terbaru yang bisa langsung upload. Bang Eng yang beberapa kali mengambil gambar dengan kameranya langsung gak mood lagi. Memasukkan Canon DSLR nya ke dalam tas. Pengen kamera yang dibawa orang Jepang itu. Tiga anak muda dan sepasang suami istri setengah baya.


Garis merah itu tak kunjung berubah wujud menjadi matahari penuh padahal kami sudah menghabiskan pose di pagi ni. Semeru dan Bromo terlihat dari tempat kami berdiri. Awan terlihat berada disekitarnya. Pemandangan yang sangat indah. Subhanallah....inilah anugerahNya yang mengingatkan kami akan nikmatNya yang tak terhingga. Langit sudah makin terang, tapi ia masih enggan menampakkan sinarnya yang utuh. Jam sudah menunjukkan hampir setengah tujuh. Puas foto dengan berbagai pose dan engel, Bang Eng mengajak kami turun utnuk melanjutkan perjanan ke puncak Bromo.

Semua orang turun, Lia meninggalkan plastik pembungkus sepatunya disana. Kami naik troper lagi melewati padang pasir untuk naik ke puncak Bromo. Belum pernah terbayang sebelumnya bagaimana lautan pasir Bromo itu sebenarnya. Sebelumnya aku kira lautan pasirnya tak terlalu luas, ternyata Bromo penuh lautan pasir di lembahnya. Puncaknya hanya sedikit dan sejauh mata memandang memang hanya ada pasir. Matahari tak terlalu terik, tapi tak dingin juga. Kutanggalkan jaket pinjaman dari Tami dan memutuskan memakai jaket tipis hitamku yang sebelumnya kugunakan di dalam jaket Tami. Siap memulai perjalanan berliku yang lumayan panjang dengan pasir sepanjang perjalanan.

Banyak kuda berjajar disana. Mereka semua menawarkan untuk menggunakan kuda sampai di atas karena jaraknya memang cukup jauh. Namun, kami tak da yang mau menggunakannya. Aku tetap pada pendirian awal, jalan dengan kakiku sendiri untuk mengukur kemampuanku. Motor bisa parkir lebih dekat dengan tanjakan dibanding mobil. Ada sebuah tempat beribadah suku Tengger yang cukup besar sebelum tanjakan.

Lagi-lagi aku dan Tami yang menjadi barisan terdepan. Aku ingat kata Abang kalau berjalan kosntan akan terasa lebih ringan. Nggak usah kebawa nafsu pengen cepet sampai, pasti bakalan sampe kok, Cuma bagaimana kita menyikapi ego dan emosi aja. Pasir membuat langkah lebih berat dibanding jalan menanjak bukan di lautan pasir. Kakiku mulai merasa lelah, tapi mencoba tetap bertahan sampai ke puncak tanpa kuda yang setiap lewat ditawari untuk menungganginya dengan tarif yang semakin murah semakin dekat dengan tangga naik.

Napasku lagi-lagi terengah-engah dengan degup jantung yang cukup kencang. Lia memanggil di bawahku tapi aku tak mau berhenti supaya nggak semakin capek saat jalan lagi. Aku berniat menunggunya tepat di bawah tangga naik ke bibir kawah bersama Tami yang sudah duluan nyampe. Perlahan tapi pasti sampai juga di puncak Bromo. Menakhlukkan Bromo yang sudah lama kuimpikan. Jam 8 pagi, tapi seperti siang. Bedanya tak terasa terik, bahkan tak ada keringat yang keluar.

Bang Eng menawarkan untuk berjalan lagi ke balik gunung ini, ada sebuah lembah bagus dengan hamparan ilalang disana, tapi aku menyerah. Kayaknya udah cukup sampai di tempat kami berdiri aja, foto sebentar lalu turun. Kembali dengan membawa segudang cerita.

Doni menitipkan kameranya pada Tami, dia akan turun berseluncur di pasir yang kemiringannya lebih dari 45 derajat seperti yang lain. Aku khawatir mendengarnya, tapi melihat beberapa orang memilih berseluncur untuk mengirit tenaga akhirnya menikmati juga melihat Doni berseluncur.  Mau coba tapi sayangnya Cuma bawa satu celana dan kalau kotor bakalan nggak ada gantinya.


Aku turun duluan meninggalkan yang lain. Baru mau turun, ada telfon dari Dedi, katanya password yang kutitipkan salah jadi terblokir. Ia memintaku membritahu cara membuka blokirnya. Sedikit kesel juga seketika.

“Kok bisa? kan udah aku kasih tahu kalau itu hurufnya kecil semua,”

“Tapi kamu nulisnya kan besar kecil,”

“Nggak, aku nulisnya kecil semua disitu, udah kupesen sama kamu juga,”

“yaudah deh kasih tahu caranya aja,”

Setelah memberi tahunya sesingkat mungkin berharap dia mengerti karena kadang lama ngerti, sambungan terputus. Kasihan juga Dedi, khawatir padanya bisa nggak menghandle semuanya karena terlalu baiknya dia kadang membuat semuanya malah jadi kacau.

Menunggu teman-teman yang masih ada diatas, kuputuskan duduk di dekat tangga. Dekat deretan penjual edelweiss yang sudah dirangkai dengan berbagai bentuk seperti bunga dan boneka dengan padanan warna hijau, ungu dan merah. Cantik, tapi sayang banget bunga yang seharusnya tidak boleh dipetik itu harus diperjual belikan. Padahal sudah tahu kalau dilarang memetik ataupun membawa pulang bunga abadi itu dari gunung agar tidak punah.

Namun, mungkin dari sanalah sumber penghasilan masyarakat di sekitar gunung itu. mereka memanfaatkan kesempatan dengan tidak bijaksana pada alam, sayang sekali. Pandanganku tiba-tiba terpaku pada seorang kakek dari Jepangyang sedang pose melompat di bawah tangga dengan latar gunung yang lain. 

Anaknya memberi aba-aba dan dia mulai meloncat lucu sekali seperti artis kungfu di film-film. Apalagi ikat kepalanya membuatnya ciri khas jepangnya begitu menonjol.


Kami semua kelelahan, aku sampat menikmati bakso di parkiran sebelum akhirnya foto bareng personel lengkap Bromo Vacation without love lalu pulang. Agak lama sopir dan Bang Eng naik saat kami sudah didalam mobil ternyata mereka sendang mendisukusikan jalan yang akan kami lewati sebab jalan yang biasa sedang diperbaiki sehingga pasti akan lama. Kalau lewat pasuruan kami harus menempuh waktu 2 jam lebih lama dengan jalan sangat menanjak dengan resiko harus turun kalau mobil nggak kuat naik.




Sepakat, kami lewat jalan memutar. Selamat tinggal Bromo, terimakasih atas pelajaran kesabaran dan keindahannya. Semua tepar, tinggal aku yang masih menikmati indahnya perjalanan pulang kali ini. 

Comments