Setelah
sempat beberapa waktu yang lalu ngobrol sama Mas Andre, mmebahas tentang
perpustakaan, diajak juga buat berpartisipasi. Pak Rahmat mengajakku lewat
jejaring sosial. Akupun mengiyakan ajakan beliau. Meski baru beberapa kali
bertemu, tapi kami selalu keep contact sehingga nggak canggung. Terutama dengan
Mas Andre, banyak yang kami bahas.
Minggu, 10
Februari 13
Hari ini,
pagi tadi berangkat jam 7 pagi dari rumah, janjian sama Mbak Osi yang bersedia menemaniku
ikut ke Gunung sari. Sengaja berangkat pagian
ngindarin polisi takut ketahuan SIM ku udah expired. Sampai Mataram jam
8 pagi, karena masih terlalu pagi, nggak enak sama Mbak Osi mau kabarin jadi
kuputuskan setelah mengitari sebagian pusat kota Mataram sampai ke KFC di
Erlangga yang ternyata off krn pegawainya lagi pada senam, akhrinya aku pun
balik ke Mataram Mall. Cari KFC yang 24 jam buat sarapan sambil nunggu Mbak
Osi.
Memesan
segelas teh dan pancake tambah kentang goreng, aku menikmati sarapan pagi
sendiri. Pegawai KFC sedang menurunkan barang-barang yang baru datang. Sebagian
lagi masih bersih-bersihin meja. Aku pun menikmati suasana pagi itu dengan
senyum. Masih bersyukur berada disana sebagai pelanggan, masih bersyukur bisa
jadi raja di tempat itu yang berarti masih diberi nikmat yang lebih.
Kuputuskan
sms Mbak Osi jam 9, mengabarkan aku ada disana menunggu dan memintanya nggak
usah terlalu terburu-buru. Menunggu sambil melihat orang-orang yang lalu lalang
masuk dan keluar di tempat itu. Ada yang berpakaian rapi pake jilbab legkap
dengan tas dan sandal yang matcing, ada yang kayak bangun tidur masih pake
hotpand dan singlet yang pastinya anak muda entah kaya entah tidak dan ada juga
yang biasa seperti kami. Kebanyakan dari mereka memilih mmebungkus dalam jumlah
besar untuk entah dibawa kemana. Secara ini kan hari minggu jadi pasti mereka
banyak acara keluarga. Teringat akan kebersamaan kami yang sudah tak bisa seperti dulu lagi.
Nggak lama,
Mbak Osi datang dan kami langsung ke BRI Unit gUnungsari karena aku sudah janji
disana bersama Pak Rahmat. Kami pun berangkat setelah berbeapa teman yang lain
kumpul di rumah Mbak Pus. Actually aku nggak pernah bener-bener deket dan
ngobrol sama temen-temen koordinator PKH ini sebelumnya karena Cuma sebentar
dan tebatasi tembok pekerjaan. Sekarang lah aku baru bisa benar-benar akrab
dengan mereka. Ternyata memang menyenangkan bersama orang-orang baru yang
menerima kami dengan ikhlas. Obrolan can candaan mulai mengalir.
Berangkat
dari rumah Mbak Pusmawati jam 10.30. Kami berangkat dengan 4 motor, personelnya
4 cewek 3 cowok. Aku boncengan sama Mbak Osi, Mas Andre sama Mbak Ulfa, Mas
Agus sama Mbak Pus dan Pak Rahmat sendiri pake scoopynya. Awalnya jalannya
aspal biasa yang ada rusak di beberapa tempat. Kemudian sampailah pada jalan
menanjak dengan dua jalur pleseteran yang sengaja dibuat untuk mempermudah
pengendara sepeda motor sepertinya. Namun, kareana eztreemnya tetep aja serem.
Jalan menanjaknya lebih dari 45 derajat dan untungnya jupi mbak osi yang baru
diservis bisa diandelin.He is the true hero. Sampai di Gripak jam 11
kurang, menitipkan motor di halaman rumah warga yang sepertinya sudah biasa
dijadikan tempat parkir tanpa harus izin.
Parkir di Gripak
Dari Gripak,
kami melanjutkan perjalanan melewati bukit menuju sempeni. Sebuah desa di atas
bukit yang nantinya diusahakan untuk didirikan perpustakaan rakyat.
Melewati
sawah dan perkebunan palawija penduduk setempat, sejuknya mulai terasa. Angin
perbukitan. Udara segar tanpa polusi dan alam yang masih alami.
“Hati-hati
kepala ya, nanti banyak pohon duren,” kata Mas Andre, pendamping PKH yang
paling sering komunikasi denganku.
“Ah...mas
andre nih becanda,”
“Beneran,
liat aja nanti,”
Melewati
hutan yang kayaknya emang belum banyak campur tangan manusia dengan semak
daimana-amana, dedaunan melindungi langkah kaki kami dari gerimis. Semakin
panjang perjalanan, kami memasuki kawasan tanaman durian. Benar ternyata banyak
pohon durian. Ada beberapa tenda berdiri disana.
“Kalo lagi
musim duren banyak nih yang bikin tenda disini,” kata Mas Andre.
“Buat nunggu
duren jatuh?” tanyaku bercanda.
“Iya, durian
kan nggak bisa dipanjat trus dipetik,”
“Loh
ternyata bener?”
“Iya, dikira
saya bercanda? Nggak,”
“Oh...berarti
yang punya pohon durian ini yang nunggu ya?”
“Ya iyalah
ngapain dia capek-capek nanem trus dibiarin gitu aja dipungut orang. durian kan
mahal Mbak,”
Dan kali ini
aku serius nggak pernah tahu kalau durian itu emang harus bener-bener ditunggu
jatuh sendiri baru diambil (malu sama gelar SP sendiri). Aku pikir seperti buah
yang lain yang bisa dipanen dari pohonnya dengan dpetik meski belum mateng
ternyata salah besar. Pantes mahal nih buah butuh perjuangan dan pengorbanan
buat panen doang. Siap kejatuhan dan sabar nunggu buah itu menyerahkan diri.
Jalan
setapak diantara semak belukar dengan medan yang naik turun tak beraturan,
mungkin begini rasanya naik gunung. Kanan kiri pepohonan besar. Sesekali
terlihat pemandangan di bawah sangat indah ketika kami bertemu dengan tebing.
Kami juga harus menyebrang sungai, untung sungainya nggak terlalu deras airnya
jadi kami nggak harus basah. Cukup melewati batu besarnya sudah bisa
menyeberang.
Langit
mendung, guntur beberapa kali menyapa. Sempat gerimis, tapi tak terlalu terasa
karena dedaunan rimbun diatas kami meneduhi perjalanan kali ini. Aku bahkan tak
bisa membayangkan bagaimana kalau hujan di tengah perjalanan dan dimana kami
akan berteduh. Namun, Allah masih memberikan kelancaran siang itu. Gerimis dan
mendung menemani perjalanan kami siang ini. Tak ada hawa dingin yang menjalar
meski sudah hampir sampai puncak bukit karena keringat bercucuran. Benar-benar
perjalanan panjang. Sampai di hamparan ilalang, kami menemukan jalan setapak
yang sudah lebih besar dan tampak ada kehidupan.
Ada suara
motor dari arah yang agak jauh, aku dan Mbak Osi kaget. Kami kira nggak ada
motor yang bisa sampai disana.
“Ada jalan
selain ini yang bisa ditempuh pake motor, tapi kalo belum biasa bahaya soalnya
jalannya bebatuan. Kalo jatuh bisa kena batu besar belum lagi motornya harus
ganti kampas rem. Makanya mendaingan jalan aja,”
Sampai di
perkampungan, hanya beberapa rumah dengan jarak tak teratur. Kami menuju rumah kepala RT setempat yang
berjarak sekitar 200 meter dari rumah pertama yang kami temui, Pak Rahmat sudah
membuat janji dengan beliau meski sulit dihubungi karena signal pun tak
sepenuhnya full disana. Kami disambut senyum ikhlas Pak Rt dan istrinya. Pak
Sabni baru pulang dari ladang, menunggu beliau mandi kami menunggu melepas
lelah di berugak. Peluh kami bercucuran. Kami disuguhi tuak manis yang sudah
direbus. Biasanya mereka merebus tuak itu untuk dijadikan gula aren. Tuak yang
disajikan ke kami kali ini baru direbus sebentar jadi rasanya seperti air
kolang-kaling yang ditambahkan gula. Rasanya segar sekali. Disusul kelapa muda
yang baru dipetik, kami campurkan air itu dengan air kelapa yang makin menambah
segar.
“Kenapa
nggak bilang mau kesini sama warga,”
“Ah nggak
usah Pak, kami nggak bawa berita apa-apa Cuma mau silaturahim. Kasihan mereka
kalau harus kesini ninggalin kerjaan mereka. Lumayan kan sehari dapet berapa,”
Pak Rahmat
menceritakan dilemanya ketika harus sering-sering mengumpulkan warga yang
emnerima bantuan dari dinas sosial dalam bentuk dana melalui tabungan. Program
Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan kerjasama dinas sosial dengan BRI untuk
menyalurkan dana pada masyarakat menengah kebawah. Ada pembimbing PKH yang
bertugas menjadi koordinator sekaligus pendamping para warga penerima bantuan
saat pencairan dan melakukan bimbingan pada penerima bantuan tersebut.
Pendamping
diharuskan mengadakan pertemuam sebulan sekali dengan warga untuk memberikan
mereka motivasi yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dengan
berusaha lebih keras lagi.
Kenyataan di
lapangan yang tak seperti yang dibayangkan. Keadaannya sangat jauh berbeda. Pada
kenyataannya program ini tidak benar-benar bisa efektif untuk mengurangi
kemiskinan . Pertemuan dan pengarahan yang diadakan kepada pada pendamping
hanya berisi pengarahan yang sama saja setiap kalinya dan hanya memiliki sedikit
sesi penyampaian keadaan di lapangan dan penyampaian harapan masyarakat untuk
lebih baik. Itulah yang membuat program-program pemberantasan kemiskinan tak
pernah tepat sasaran. Pemberian bantuan tak diikuti oleh kepedulian wakil
rakyat untuk medengarkan dan menindaklanjuti permasalahan di masyarakat.
Memberikan bantuan dengan terus menekan para pendamping untuk melakukan follow
up tanpa memberi kesempatan pada mereka untuk menyampaikan kendala atau bahkan
membahas solusinya. Padahal seharusnya itulah point dari program ini. Mereka
tak hanya butuh uang, tapi sarana dan motivasi untuk maju.
Kelemahan
sistem penanggulangan kemiskinan sebenarnya hanya soal kepedulian dan kesadaran
yang tak dimiliki mereka yang berperan aktif.
Pembicaraan
pun kembali pada rencana pembangunan perpustakaan. Pak Rahmat sudah mendapatkan
beberapa buku dari penerbit yang beliau kenal di Jogja. Tinggal menentukan
lokasi pendirian dan bagaimana nantinya pendanaan untuk perpustakaan ini. Pak
Sabni menanggapinya dengan antusias dan akan membantu dalam perwujudan niat
baik itu. Beliau berjanji akan menyampaikannya pada masyarakat setempat agar
dapat ikut berperan juga paling tidak untuk pendirian bangunannya nanti.
Pak Rahmat
hanya meminta sebagai langkah awal adalah tempat yang kira-kira bisa dipinjam
untuk mendirikan bangunan non permanen di daerah itu yang nyaman. Kami diajak
Pak Sabni melihat pekarangannya yang masih kosong dan ia siap untuk dipinjamkan
menjadi lokasi perpustakaan nantinya.
Cukup luas dan pemandangannya juga bagus dari pekarangan Pak Sabni, kami
bisa melihat jajaran perkampungan penduduk dan pantai di sebelah kanan dan
hamparan gradasi pemukiman juga pepohonan di bagian timur.
Kami berniat
untuk membuat bangunan non permaen dari kayu dan anyaman bambu sebagai
dindingnya sebagai tempat buku dan sebuah teras untuk mereka membaca buku.
Pengurus dan pemeliharaan buku itu akan diserahkan sepenuhnya pada anak-anak
yang ada disekitar tempat itu. Kami ingin memberikan suasana yang menyatu
dengan alam jadi mereka bisa membaca dimanapun mereka suka, tidak terbatas
ruang dan waktu, tapi tetap tertib dan terawat.
Untuk
pembangunan perpusatakaannya Pak Subni sanggup untuk mengerahkan masyarakat
gotong royong membangunnya. Namun, yang masih jadi kendala adalah bahan
pembuatan perpustakaannya. Pak Rahmat berjanji akan memikirkan dananya, beliau
akan mengajukan proposal atau melalui penggalangan dana seperti pengumpulan
koin.
Kami pun
akan menyempatkan untuk mengawasi dan memberikan sedikit ilmu pada mereka pada
waktu-waktu tertentu. Pak Rahmat dan istrinya siap untuk seminggu sekali datang
ke tempat ini sedangkan kami yang lain bisa menyesuaikan dan diusahakan
sesering mungkin saat kami ada waktu sebab mereka memang membutuhkan kami.
menurut penuturan Pak Sabni ada murid kelas dua bahkan kelas tiga yang belum
lancar membaca. Beliau sangat mengharapkan kalau memang ada yang dengan
sukarela mengajarkan mereka karena bangku sekolah tak cukup memberikan ilmu
pada mereka dengan keterbatasan waktunya.
Pembahasan
tentnag perpustakaan sudah menemukan titik terang. Secepatnya kami akan mulai
bergerak untuk menggalang dana dan follow up semuanya.
Sambil
ngobtol santai, Bu Sabni mengeluarkan tiga buah durian dengan ukuran sedang.
Semua mata berbinar kecuali aku yang memang nggak doyan durian. Kami memilih
membawanya pulang. Sebelum sholat di Masjid sekalian pulang, sejenak kami
menikmati indahnya bukit ini melihat hamparan pemukiman dari ketinggian dan
melihat pesisir pantai Ampenan yang terlihat begitu indah. Subhanallah....
Perjalanan
kami berlanjut setelah sholat dzuhur menuju gripak lagi dengan halangan dan
rintangan yang sama seperti sebelumnya. Kali ini karena sudah kecapekan, berjalan dengan suasana sunyi. Tak ada suara seperti sebelumnya, tak banyak yang bicara. Namun, kelelahan kami tak boleh sia-sia. kelelahan ini harus membuahkan hasil dan akan kami lanjutkan di dua atau tiga minggu kedepan. Semoga semua lancar dan Allah meridhoi langkah kami mewujudkan niat kami. Amiiin
Comments
Post a Comment