Beliau Saja Masih Bisa Tersenyum

Ada pancaran ketabahan dan ketegaran di garis wajahnya. Candaan yang selalu keluar dari mulutnya membuat semua orang yang ada di sekitarnya merasa bahagia. Tak akan terasa menyenangkan tanpanya, keberadaannya sangat dirindukan.
Lagu dangdut masih mengalun dari handphonenya. Sebagai penghibur hati menepis lelah sambil merawat deretan pohon apel bersama pekerja-pekerja yang lain. Mbok Nnem, Mbok Jah dan Pak Dobleh, teman seperjuangannya. Pekerja kebun apel milik Kusuma Agrowisata itu masih terlihat bersemangat meski terik menyengat tubuh mereka. Berbekal topi dan caping mereka melengkungkan cabang-cabang pohon apel sambil bersenda gurau dan bersenandung.
Setelah panen raya, pohon-pohon apel yangbiasa berbuah setahun dua kali dipangkas pucuk-pucuknya untuk dihilangkan tunas air dan ranting-ranting yang tak produktif. Ranting-rantingnya dilengkungkan agar tumbuhnya rimbun tak terlalu tinggi karena merupakan lokasi wisata petik. Julmah rantingnya pun dibatasi agar pertumbuhan buahnya maksimal.
“Sarapan dulu yuk” Pak Mendol mengajak kami, aku dan teman-teman yang sedang magang, berlatih cara merawat kebun apel.
“Ayo mbak, mas” kata Mbok Ndem menimpali.
Kami pun menghentikan pekerjaan kami.
Pak mendol dan kawan-kawan memilih duduk di bawah pohon apel yang agak teduh. Kami duduk di atas rumput pematang yang masih belum disiangi. Teduhnya pohon apel yang belum dilengkungkan dan dibuang daun mudanya cukup untuk menghalangi panas matahari yang mulai terasa menyengat. Kami duduk melingkar, seperti acara api unggun.

Awalnya kami sungkan untuk ikut makan bersama mereka karena kami tidak membawa bekal apapun dari kos. Jauh dari keluarga dan memang nggak ada yang bisa dibawa jadi alasan klise tak membawa bekal. Namun, Pak mendol dan kawan-kawan sudah menyiapkan bungkusan untuk kami makan bersama. Mbok Ndem dan Mbok Jah sudah membawakan tiga bungkus besar nasi jagung. Nasi yang dicampur dengan serutan jagung rebus. Dengan sayur dan lauk tempe, rasanya sangat nikmat. Apalagi makan bersama-sama. Kami makan dengan lahap meski satu bungkus bertiga atau berempat dengan lauk dan sayur yang sangat sederhana.












Kebersamaan dan keikhlasan yang membuat makan kami terasa sangat nikmat. Melebihi makan di restaurant dengan hidangan mewah. Makan setelah bekerja keras di bawah pohon rindang bersama-sama jauh lebih nikmat dan tak terkatakan.
“Ya kayak gini ini makanan ndeso mbak, mas. Nggak ada yang enak, kalo mas sama mbak pasti makanannya enak-enak ya”
“Ah, nggak juga Mbok. Makanan begini ini malah yang enak, mantab!” kata Tyo, si jangkung dari Jakarta yang paling lahap makannya. Kecil-kecil makannya banyak juga tuh anak.
“Kalo makan bareng-bareng begini makanan apa aja enak ya Pak, Mbok?”
“Iya, mas. Yang penting itu bersyukur, adanya ini ya ini yang dimakan, kalo nggak ada ya nggak makan. Yang bikin enak itu sykurnya kita, banyak kan orang yang bisa makan makanan mahal tapi masih merasa nggak enak” kata Pak Mendol.
Kami berguaru dan saling berbagi cerita. Pekerja kebun apel itu bekerja dari jam enam pagi sampai jam dua belas siang. Biasanya mereka istirahat jam sembilan pagi untuk makan sejenak sebelum kembali melanjutkan pekerjaan.
Keluguan dan kesederhanaan terpancar dari canda, keikhlasan terpancar dari tawa dan kesabaran tergurat di raut wajah bersahaja itu. Tawa lepas seperti tak ada beban, ikhlas menjalani semua yang memang sudah menjadi takdir mereka untuk bisa tetap menikmati hidup.
Mereka kembali bekerja setelah perut kenyang dan cukup istirahat. untuk keluarga di rumah yang mengharapkan mereka. Topi, caping dan sarung tangan andalan telah terpasang, mereka siap untuk kembali bekerja. Teriknya matahari tak mempu menyurutkan semangat dan tawa mereka yang sesekali bercanda ketika bekerja.
*_*_*_
Tak pernah ada yang tahu dalam keceriaan dan candanya, Pak Mendol menyimpan masalah yang cukup menyedihkan. Seorang putranya yang masih kecil terserang gagal ginjal yang menyebabkannya harus cuci darah setiap minggu. Perawatan yang memakan biaya tidak sedikit.
Bayi laki-laki mungil yang tumbuh normal itu terjatuh dari sepeda ketika usianya masih balita. Benturan keras pada perutnya melukai organ dalam perutnya, terutama ginjal yang tak lagi berfungsi dengan baik. Meski memakan biaya yang tak sedikit, tapi demi buah hati tercintanya, Pak Mendol tetap semangat menjalaninya. Bekerja di kebun apel milik Kusuma di pagi hari dan bekerja kembali sebagai buruh serabutan mengisi harinya hingga larut untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tak sedikit. Banting tulang peras keringat untuk keluarga yang dicintainya dan putra kecilnya yang berjuang melawan penyakitnya.
Hutang di sana-sini dan makan seadanya untuk menyambung hidup keluarganya, yakin padaNya yang membuat laki-laki paruh baya itu tetap tegar menjalani hidup dengan senyum dan canda khasnya.
“Jalani saja dengan syukur dan ikhlas, maka semua akan terasa ringan,” katanya di akhir cerita tentang putranya ketika kami berkunjung ke rumahnya untuk sekedar silaturahim.
Ia tak ingin menceritakan tentang putranya, tapi Mbok Ndem pernah menceritakannya pda kami. Jawaban bijak itulah yang selalu terlontar ketika ditanya tentang putranya, ia tak mau banyak cerita tentang penyakit putranya karena tak mau bersedih. Baginya musibah itu bukan untuk bersedih, tapi untuk dihadapi dengan ikhlas.
Sosok yang selalu ceria itu hanya mau menceritakan keceriaan putra-putrinya, bukan penyakit putranya. Tawa dan senyum buah hatinya memberi kekuatan padanya untuk terus optimis putranya dapat hidup normal seperti anak-anak lain tanpa harus merasa kesakitan.
Doa untuk putranya di setiap sholatnya membuat air matanya berlinang. Tak ada yang tahu kapan ia menangis, wajah bersahajanya selalu menunjukkan keceriaan dan ketegaran. Baginya, senyum adalah kekuatan paling dasyat. Dan itulah caranya mensyukuri nikmat hidup yang diperolehnya.

Subhanallah...inilah pelajaran terbesar yang dapat kami petik ketika magang di Malang dua tahun lalu. Sosok yang menjadi inspirasiku yang sampai sekarang masih terus terngiang petuahnya.

 

Comments