Bejango Seharusnya Bukan Begitu

Jam pelayanan kantor sudah usai, saatnya merapikan berkas-berkas yang masih menumpuk dan nggak habis-habis. Dalam lelah dan penat, sebuah suara mengalihkan perhatian kami.
Suara musik tradisional yang belum pernah kudengar berasal dari luar kantor. Kutinggalkan pekerjaan yang masih menumpuk di meja menuju jendela besar dekat pintu depan. Memastikan kalau asal suara itu berasal dari luar. Banyak orang berdiri di pinggir jalan.
Beberapa gadis berpakaian kebaya seragam dengan make up tebal mulai muncul. Mereka berjalan teratur membentuk dua baris. Ternyata sebuah adat yang biasa kita lihat, nyongkolan atau bejango. Sebuah adat suku sasak mengantar pengantin ke rumah pengantin wanita untuk silaturahim dan dikenalkan kepada keluarga dan tetangga kalau mereka sudah menikah. Arak-arakan jalan kaki pengantin berangkat dari rumah pengantin laki-laki lalu disambut oleh kelarga pengantin perempuan yang berjalan menuju arah rumah pengantin laki-laki, saat bertemu di tengah jalan mereka bergabung membentuk satu arak-arakan menuju rumah pengantin wanita. Barisan pager ayu mengiring pengantin wanita di depan sedangkan barisan kaum adam mengiring pengantin laki-laki di belakangnya.
Biasanya di deretan paling belakang ada musik seperti karaokean dengan sound yang besar hanya untuk memberi tanda kalau sedang diadakan sebuah arak-arakan pengantin. Biasaya lagu-lagu dangdut yang terdengar lebih meriah.
Kali ini, pemandangan lain, setelah sekitar tiga deret wanita berkebaya, ada barisan laki-laki dengan pakaian daerah yang sama, sarung khas lombok dan baju ungu tua berbentuk seperti baju adat orang jawa berlengan panjang, mereka membawa alat musik tradisional. Suaranya terdengar enak sekali di telinga dan di mata, tak seperti biasanya. Barisan paling depan membawa sepasang alat musik seperti piring besar dari kuningan saling dipukulkan berjalan perlahan dengan langkah panjang sdan sesekali melenggak-lenggok. Di belakangnya barisan pembawa alat musik yang dipukul dari kuningan berbentuk saron di jawa, tapi dalam ukuran yang lebih kecil hanya sekitar lima batang kuningan yang dibawa dengan cara digantung dengan tali di leher. Barisan pembawa alat musik selanjutnya membawa alat musik seperti gong  sebanyak dua buah. Meraka semua berjalan perlahan dengan langkah panjang sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri seperti menari.
Kata teman-teman yang asli orang suku sasak, adat itu sudah mendekati adat aslinya. Biasanya mereka yang dari keluarga bangsawan atau keluarga berada yang menyelenggarakan adat dengan alat musik tradisional sebab menyewa alat musik tradisional cukup mahal. Itulah yang membuat adat yang sebenarnya luntur dan digantikan dengan karaokean dengan soundsistem seadanya yang penting terdengar meriah.
Akibatnya, banyak yang tidak membudidayakan adat yang sebenernya jauh lebih enak dilihat dan didengar hanya karena menuruti nafsu anak-anak muda yang membuat adat menjadi tidak lagi tercapai maksud essensinya. Yang paling menyedihkan lagi, banyak dari pemuda yang memanfaatkannya sebagai ajang menuruti hawa nafsu dengan minta uang untuk beli minuman keras saat acara nyongkolan dengan ancaman mereka tak akan datang mengiring pengantin karena pengiring pengantin berasal dari pemuda sekitar dan keluarga. Mau nggak mau terkadang si empunya hajat harus mengeluarkan uang dan perayaan nyongkolan tak jarang berakhir ricuh karena si pemabuk membuat onar.
Sayang sekali budaya yang baik niat dan tujuannya harus dicemari oleh mereka-mereka yang tidak mengerti maksud dan tujuannya. Kebiasaan yang sudah terlanjur mendarah daging dan berkembang meski buruk, sulit untuk dihentikan. 

Comments