Desa di Lembah Sejuta Pesona



Minggu, 5 September 2011. Akhirnya jadi juga kami touring mengunjungi desa di lembah gunung yang katanya menyimpan sejuta pesona.
“Bagus disana,” kata-kata yang selalu membuatku ingin segera meluncur dan menyaksikan sendiri. Males diceritain terus, mau aku buktiin sebagus apa sih sampe dipromosiin segitunya.
Setelah perencanaan perjalanan yang sangat membingungkan terkendala kendaraan dan pak sopir sebab kami berempat cewek semua. Mana kalau mau ke sana harus lewat bukit dan nggak ada satupun dari kami yang berani duduk memegang kendali motor, bisanya bonceng. Cari enak. Setelah sempet terancam batal berangkat karena salahs atu dari kami nggak dapet tebengan, akhirnya berkah pagi hari menghampiri kami. Ada sukarelawan yang mau jadi tempet nebeng kami.
Kami berangkat dengan 8 personel yang dibagi jadi 4 pasang. Yang 2 pasang pacaran sedangkan yang dua lagi termasuk aku nggak. (>.<). Kasihan ya...
Renaca awal kami kumpul di rumahku jam 8, tapi ternyata ada yang molor sampe lama. Sepasang anggota kloter yang pacaran memutuskan berangkat duluan. Yang lain masih nunggu satu orang yang udha sejam bilangnya masih di jalan, padahal jarak rumahnya sampai ke rumahku nggak lebih dari 5 km. Kalo normalnya sih paling lama setengah jam udah sampe di rumah, tapi udah sejam lebih belum juga nyampe.
Meski dengan sedikit dongkol, penantian kami berujung juga jam 10 lebih 5 menit. Sepanjang jalan, banyak kendaraan yang touring rame-rame. Jalanan penuh sama kendaraan roda dua yang kebanyakan muda-mudi. Kayaknya sih tujuannya hampir sama dengan kami, refreshing. Dan mungkin tujuan kami sama.
Bener aja, satu-satunya jalan menuju puncak gunung yang akan mengantarkan kami menuju lembah indah itu penuh dengan motor. Mana jalannya lagi diaspal, baru sebagian yang udah jadi. Sebagian lagi masih rusak dan sebagian lagi baru disiram perekat. Alamak...parah. perjalanan kali ini penuh perjuangan. Celana sama sendal kotor sama perekat yang warnanya item. Mana susah dibersihin.
Jalan menanjak dan berliku menjadi ciri khas daerah pegunungan. Kami berusaha untuk tidak terlalu jauh dengan rombongan. Jarak antar kendaraan juga harus dijaga agar tidak tetap aman. Semakin berliku dan naik turun jalannya, hawa dingin semakin menusuk. Sepanjang kanan kiri jalan hanya hutan lebat yang masih alami. Pohon-pohon tinggi besar berdaun lebat membuat sinar matahari tak dapat memberi terangnya seutuhnya. Banyak kera berkeiaran di sana-sini. Nggak takut banyak kendaraan yang berlalu-lalang, mereka asik mngunyah makanan yang mereka dapatkan. Duduk di pinggir jalan seperti sedang melihat pertunjukan.
Perjalanan semakin terasa menyenangkan di tenagah desakan hawa dingin dan jalan menanjak ketika banyak motor-motor yang lain. Walaupun nggak kenal, setidaknya jalanan yang menyeramkan itu jadi nggak kelihatan sepi. Ada satu titik peristirahatan. Ada berugak (semacam gazebo) di tengah perjalanan. Ada tempat lapang yang agak luas untuk kami sejenak istirahat sebelum sampai ke tujuan kami. Minum dan makan sedikit perbelakan yang ada. Ada juga yang malah bikin makanan di sana, bakar jagung, bikin kopi dll. Kami baru sadar kalau ini hari minggu, masih suasana lebaran pula. Lebaran jadi ajang rekreasi buat orang-orang di Pulau ini karena nggak ada adat sungkeman kayak di Jawa, jadi cukup salaman aja dan sehari selesai. hari selanjutnya buat jalan-jalan.
Kendaraan satu dengan kendaraan yang lain harus jaga jarak agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan karena jalannya menanjak. Beberapa motor matik berjalan meliuk-liuk agar sampai ke tujuan. Kami pun awalnya was-was kalau kalau motor kami nggak kuat menanjak, kami harus siap jalan kaki dorong motor. Alhamdulillah, mimpi buruk itu nggak terjadi.
Nggak sampai setengah jam, kami sampai di puncak Pusuk. Puncak eksotis yang pernah kukunjungi dua tahun lalu. Waktu itu, nggak banyak yang berkunjung di puncak gunung ini, Cuma aku, adik laki-lakiku dan dua pamanku. Kami menguasai seluruh sudut pusuk untuk foto dan menikmati indahnya desa di lembah dari berugak yang ada di puncak itu.
Tebing-tebing curam dan gundukan tanah yang terjal menjadi pemandangan yang sangat berkesan. Pegunungan yang terlihat berjajar indah menambah indah pemandangan. Udara sejuk, angin semilir menerpa dan dingin yang menusuk membuat makin tak ingin beranjak. Sayangnya, terlalu banyak orang membuat kami menjadi tak bisa menikmati sepenuhnya. Kopi panas yang sudah kami rencanakan untuk menemani kami menikmati indahnya puncak gunung terpaksa hanya menjadi angan saja. Berugak satu-satunya penuh orang, pedagang kopi dan makanan diserbu banyak orang.
Motor dan mobil tercecer dimana-mana termasuk penumpangnya yang berkeliaran mencari tempat yang bagus untuk menikmati indahnya pemandangan dan mengabadikan keindahannya.

  
Kami bertemu beberapa teman dan tetangga yang ternyata juga ada di sana sebelum kami. Berfoto sebentar, menghirup udara segar sebentar dan mengabadikan kunjungan kami menjadi agenda wajib yang nggak boleh ketinggalan. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju desa di lembah yang menjadi tujuan utama kami.
Perjalanan menurun, masih dengan udara dingin yang menusuk. Pemandangan berubah menjadi pedesaan, tanaman bawang merah, bawang putih menjadi dominan. Kesejukan desa di lembah gunung itu terlihat begitu indah. Rumah-rumah yang masih berjauhan sangat berbeda dengan suasana Masbagik yang penuh sesak dengan perumahan penduduk dan manusia yang berjubel. Desa di lembah ini menyajikan hamparan hijau yang asri, kehidupan yang tenang, kesederhanaan dan keharmonian alam.

Kami mampir sejenak di rumah saudara salah satu personil kami. Menhghabiskan perbekalan, istirahat sambil membahas tujuan selanjutnya. Kami memutuskan untuk sholat dzuhur terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah sholat dengan ari wudlu sedingin es, kami pun melanjutkan perjalanan. Menyusuri perbukitan denga pemandangan hijau, green house, sungai yang mengering, tanah gersang dan terbakar juga pegunungan yang berjajar di kiri kanan mata memandang. Setelah perjalanan naik turun, perjalanan berliku dan udara dingin sedikit demi sedikit mulai berkurang, terik matahari mulai menghangatkan badan. Hamparan perkebunan jambu monyet yang panjang berganti dengan tanah gersang dan pesisir pantai.

Kami berhenti sejenak di jembatan menunggu beberapa teman yang masih berada di belakang. Daripada begong, kami sempatkan untuk mengabadikan keberadaan kami disana.
 Pantai Obel-Obel dengan karang-karang dan air jernihnya menjadi pemandangan yang berbeda. Kami sengaja pulang melewati jalan yang berbeda dengan saat berangkat untuk melihat indahnya pemandangan sekeliling. Disana juga nggak kalah ramai dari Pusuk, banyak mobil dan motor yang parkir. Lautan manusia bermain dengan ombak yang cukup besar tak peduli dengan terik. Jalan menanjak dan menurun dengan pemandangan tanah peisir yang gersang dan karang-karang pantai dengan sedikit hembusan angin panas memberikan nuansa yang berbeda. Subhanallah, indah sekali.
Kami berhenti di pantai yang sepi orang, dekat dengan pedangang makanan dan ada pohon rindang tempat kami berteduh. Duduk memakan camilan untuk mengisi perut memandang laut lepas yang tak pernah pudar pesonanya. Cermin kebebasan dan keterbukaan. Beriak, bergelombang, memberikan manfaat yang laur biasa. Perjalanan kami kali ini adalah harmoni yang unik. Sekali berjalan, kami bisa menikmati banyak hal, merasakan banyak hal dan belajar banyak hal.
Ketinggian bukaan untuk melupakan yang ada di bawah. Kalau ingin sampai di atas harus melewati jalan berliku dan naik turun terlebih dahulu. Indahnya ketinggian melihat yang ada di bawahnya tak selalu lebih menyenangkan daripada berada di bawah. Melihat sesuatu dari ketinggian saja sama dengan melihat ketidakpastian. Kita tidak bisa menilai sesuatu dari melihat semua dari jauh saja, dari atas, tapi kita harus datang untuk merasakannya sendiri baru kita dapat memberi penilaian.
Setelah dinginnya udara pegunungan, ada panasnya suasana pantai. Allah sudah menciptakan keharmonisan, jadi jangan berputus asa. Pasti ada jalan di setiap masalah. Dinginnya udara sembalun menghasilkan buah dan sayur yang melimpah, panas, terik dan gersangnya pesisir pantai mendatangkan tambak ikan dan garam yang melimpah. Allah sudah mengatur semua dengan indah. Kalau kita mau berusaha, pasti ada keindahan di tengah keterbatasan dan kekurangan.
Peisisir pantai dengan tambak garam dan ikan menjadi penutup perjalanan indah kami yang menyenangkan dan sarat makna. Subhanallah...semoga bermanfaat...^_^


Comments