TOPENG



Topeng, dimana-mana ada topeng. Semua rang memakai topeng. Tak ada seorang pun yang tak memakai topeng. Di bus, di mall, di kantor, di pasar, di semua tempat, semua orang memakai topeng. Kenapa semua memakainya? Kenapa harus memakai topeng?
Ada yang menjawab“Tuntutan keadaan”
Memangnya keadaan bisa menuntut? Kayak pengacara aja.
Lain lagi menjawab “Zaman edan, kalo nggak pake topeng nggak bisa hidup di kota metropolitan begini”
Ini lagi, malah zaman yang dibilang edan, kalo gitu dibawa ke rumah sakit jiwa aja biar sembuh. Topeng bisa bikin hidup? Berarti kalau nggak pake topeng bisa mati? Semakin ngawur.
Lain orang, lain jabatan, lain jawaban “Biar pede aja,”
Cuma bis geleng-geleng dengan jawaban ini. Kalo nggak pake topeng berarti nggak pede.
“Biar gaul,” ini jawaban anak muda yang pikirannya picik.
“Ngikutin tren” ada juga tren topeng ternyata, aku baru tahu.
“Kalau nggak, nggak bisa hidup di kota besar begini”
Oh, jadi topeng bisa bikin orang hidup. Apa secera otomatis kalau hidup di kota besar nggak pake topeng bisa mati?
Jawaban paling bodoh adalah,”Ikut-ikutian aja, kan semua pake topeng”
Semua orang pakai topeng, tanpa terkecuali. Orang desa yang sebelumnya tidak memakai topeng, ketika sampai di kota itu jadi ikut memakai topeng dengan alasan yang berbeda-beda.
Kepura-puraan dan kemunafikan menjadi pelengkap. Tak ada bedanya siang dan malam, sama-sama terang. Tak ada yang berhenti beraktifitas, tak ada waktu untuk bersantai. Tak ada waktu untuk duduk diam, tak ada waktu untuk beribadah, tak ada waktu untuk merenung,tak ada waktu untuk bersyukur. Yang ada hanya bekerja dan bekerja. Yang ada hanya bagaimana caranya tetap bertahan bahkan bisa menjadi jauh lebih banyak materi.
Materi. Semua membicarakan materi. semua memikirkan materi. Semua mencemaskan materi. Materi adalah segalanya. Materi adalah kehidupan. Tak ada kehidupan yang tidak material.
Setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri, tak ada yang memikirkan orang lain. Tak ada yang mempedulikan orang lain. Yang penting dirinya sendiri. Yang penting dia bisa hidup.
Tak ada sapaan, tak ada ucapan ‘selamat pagi’, tak ada senyum, tak ada kesejukan. Panas, pengap, polusi.
Sudah kususuri jalanan dari pinggiran kota hingga ke tengah kota yang penuh dengan hiruk pikuk kesibukan mencari materi. tak kutemukan seorang pun yang bisa kuajak duduk santai mengobrol. Harus ada keuntungan berupa materi yang mereka peroleh saat mengobrol, tak ada yang mau membicarakan hal-hal tan bermateri.
Waktu adalah uang.
Dunia adalah materi, hidup untuk materi.
@-@-@-@
Masih untuk alasan yang sama, mencari jawaban tentang topeng itu. Mencari penjelasan yang lebih bisa kuterima tentang topeng. Aku brjalan kembali ke pinggiran kota, di sisi yang lain.
Banyak tumpukan sampah topeng berserakan. Kutanyakan pada pemulung di dekat tumpukan sampah itu. Seseorang dengan pakaian compang-camping yang masih belum memakai topeng.
“Kenapa banyak sampah topeng, pak?”
“Udah nggak bisa dipake lagi, udah kelihatan wajah aslinya kalau pake topeng ini, makanya dibuang”
“Trus bapak kenapa masih nyari topeng bekas? Buat apa? katanya udah nggak bisa dipake?”
“kan bisa dijahit dikit, biar nggak terlalu kelihatan wajahnya, bisa dijual atau saya pakai sendiri”
“Memangnya masih laku dijual?”
“Ya masih”
“Memangnya siapa yang mau bali topeng bekas?”
“Itu orang-orang yang baru merantau, baru datang ke sini dari desa-desa yang masih belum punya banyak uang. Kalau topeng yang baru kan mahal”
“Lha kalau bapak sendiri buat apa pakai topeng?”
“Ya, biar bisa hidup. Kalau nggak pakai topeng, nggak bisa hidup disini. Yah, siapa tahu bisa jadi lebih baik. Kalau nggak pakai topeng, hidup saya begini-begini aja. Itu, tetangga saya, dari dulu sampai sekarang nggak mau pakai topeng ya makin sekarat. Udah belum tanyanya? Kalau nggak ada lagi yang ditanyain, saya mau kerja lagi”
Kuakhiri obrolan yang menurut pemulung itu nggak berguna, jawab pertanyaan tentang topeng yang nggak ada hasil materinya. Satu pertanyaan lagi kulontarkan, tentang orang yang katanya hidup sekarat dan tidak mau pakai topeng.
Kudatangi sebuah gubuk reot yang hampir ambruk. Seseorang bertubuh kurus kering terbaring lemah di ranjangnya yang sudah keropos dimakan rayap.
“Kenapa tidak mau pakai topeng?”
“Saya takut dosa, hidup dalam kepura-puraan dan kemunafikan”
“Tapi semua orang pakai topeng”
“Biar saja, saya tidak mau ikut-ikut”
“Tapi anda hidup seperti ini, anda nggak bisa punya apa-apa, nggak bisa hidup layak”
“Saya punya Tuhan, saya punya iman, nyatanya saya masih bisa hidup sampai sekarang. Sudah puluhan tahun saya seperti ini, tidak makan dan tidak minum, tidak ada barang halal disini”
“kenapa anda tidak pergi saja dari sini? Mencari tempat yang lebih jujur dari tempat ini?”
“Sudah tidak ada tempat yang aman lagi, keluar dari rumah ini terlalu berbahaya, magnet materi sangat kuat. Hanya tempat ini yang paling aman. Pernah beberapa kali saya mencoba keluar dan ingin mencari kehidupan di tempat lain, tapi tidak pernah bisa. Saya terjebak disini sejak saya lahir, begitu pula dengan orang tua saya”
“Apakah semua orang yang tidak mau pakai topeng akan hidup seperti ini? Seperti anda?”
“Ya, terkurung, tak bisa kemanapun, tak bisa melakukan apapun, tak ada yang mau berkawan ataupun menganggap kami saudara. Kami hidup sendiri. Sendiri”
Kutinggalkan kampung pemulung. Berjalan kembali menyusuri jalanan menuju ke tengah kota melewati jalan yang lain.
Kutemukan beberapa pengemis yang juga memakai topeng, topeng kumuh yang terdapat banyak robekan dan jahitan di sana sini. Mereka tak mau kutanyai, aku pun berjalan kembali. Berharap ada jawaban yang lebih bisa kutrima tentang alasan mereka memakai topeng meski pandangan mata yang memperhatikanku sangat tidak nyaman, menusuk, mencemooh, merendahkan. Entahlah, apa yang ada dalam fikiran mereka, aku hanya ingin mencari jawaban atas pertanyaanku yang nantinya dapat kubagi dengan teman-teman di kampungku yang ingin merantau ke kota metropolitan ini.
‘Pasar Topeng’
Ternyata topeng-topeng itu dijual. Bahkan sudah ada pusatnya, pasar topeng. Berbagai macam topeng diperjual belikan dengan kualitas dan harga yang beragam. Mulai dari yang paling rendah hingga paling tinggi sekalipun ada. Letaknya tak jauh dari pusat kota. Yang membeli topeng pun beragam, mulai dari pengemis, pendatang, hingga pejabat dan pemilik perusahaan juga ada disana. Topengan kualitas terbaik dada di lantai lima, lantia teratas yang paling eksklusif, sedangkan topeng kualitas paling buruk, topeng bekas, ada di lantai paling bawah yang paling ramai dikunjungi pendatang baru yang ingin merantau dan mengadu nasib.
Katanya inilah pusat jual beli topeng paling lengkap. Bahkan dijual via telpon dan online untuk orang-orang yang mobilitasnya tinggi dan tidak sempat ke pasar topeng.
Aku pun mencari tahu siapa yang membuat topeng-topeng itu.
“Ada yang di kota, ada yang di desa”kata seseorang yang kutanya sedang menjual topeng tanpa melihat ke arahku.
Kususuri jalanan kembali, mencari pembuat topeng yang ada paling dekat dengan pasar topeng itu. Karena tak ada yang bisa kutanya karenatak ada materi yang kupunya, tak ada materi yang bisa kuberikan pada mereka. Tak ada yang mau menghiraukanku. Hingga aku menemukan plang ‘Pabrik Topeng’di dalam gang sempit. Aku pun menengok dari balik jendela yang gordennya sedikit terbuka. Orang berpakaian hitam-hitam dengan rambut gondrong dengan menyan dan sesaji di depannya sedang membuat topeng.
Di sebelahnya, tak jauh dari pabrik topeng itu, kulihat plang pabrik topeng juga. Namun, mereka tak membuatnya dengan menyan, tapi dengan kebohongan, kelicikan dan kemunafikan. Ada juga yang membuatnya dari kekerasan dan peluntur peri kemanusiaan. Di lain pabri, ada yang membuatnya dari darah dan kulit manusia.
Bulu kudukku berdiri. Ngeri melihatnya. Pembuatan topeng itu sangat mengerikan. Kenapa mereka mau memakai? Apakah mereka tahu pembuatan topeng itu? Apakah mereka tidak takut memakai topeng yang cara membuatnya sangat mengerikan itu?

Comments