Menatap Hujan



Dari balik jendela, mata itu menatap tajam jalanan yang dibasahi air hujan. Derasnya menyiratkan kepedihan. Lama air sebanyak itu tak tertumpah di tanah itu dan menebarkan bau sejuk itu. Sepasang mata yang masih menatap hujan dan merasakan kesejukan bau tanah yang basah membuatnya teringat pada seseorang. Seseorang yang senyumnya masih kuingat, lembut wajahnya masih terngiang.
Khaira masih belum mau beranjak dari jendela. Menikmati harumnya tanah yang dibasahi air hujan. Eyang paling suka menatap hujan sampai berjam-jam. Ada yang membuatnya teringat tiap kali menatap hujan.
“Eyang sama eyang kakungmu paling senang menatap hujan lewat jendela dulu,” kata beliau ketika Khaira menanyakan alasannya menatap hujan.
Kata Ibu, eyang putri dan eyang kakung berpisah karena dipisahkan oleh orang tua eyang putri yang tidak setuju dengan hubungan mereka berdua. Ibunya eyang putri sudah nggak setuju kalau eyang putri berhubungan dengan eyang kakung yang waktu itu Cuma tukang kayu. Beliau ingin eyang putri mendapatkan suami yang lebih baik daripada eyang kakung sebab eyang kakung dianggap tidak dapat membahagiakan eyang putri. Banyak orang kaya dan terpandang yang melamar eyang putri dengan mobil, naik, haji, rumah dsb, tapi eyang putri nggak mau dan memilih dengan eyang kakung.
Eyang putri jatuh sakit karena dilarang bertemu dan menikah dengan eyang kakung hingga akhirnya orang tuanya terpaksa menikahkan mereka agar eyang putri sembuh. Namun, perjalanan pernikahan mereka tak berjalan dengan baik, penuh dengan perselisihan karena ibu eyang putri selalu mencari cara agar mereka berpisah. Hingga akhirnya ibu lahir. Belum genap setahun umur ibu waktu itu, eyang putri dan eyang kakung bercerai.
Mereka berkeluarga lagi dengan orang lain. Namun, cinta mereka tak pernah luruh.
Hingga akhirnya ninik (panggilan Khaira pada suami eyang putri, ayah tiri ibu) meninggal dan eyang kakung bercerai dengan istrinya tak lama setelah itu. Eyang kakung ingin kembali merajut cinta mereka yang terpisah berpuluh tahun. Namun, eyang putri yang sakit-sakitan tak menyanggupinya.
Khaira ingat waktu menemani eyang putri duduk di teras rumah memandangi hujan waktu itu. Sejak eyang kakung mengungkapkan keinginannya untuk meminang eyang putri kembali, eyang semakin sering memandangi hujan di teras rumah atau di jendela kamar beliau.
“Eyang, kenapa eyang nggak mau kembali sama eyang kakung?”
Eyang tersenyum memandangku lalu mengelus rambutku.
“Eyang ini sakit-sakitan, bukannya ngurus eyang kakung nanti malah ngerepotin kalau sering kumat. Biar eyang kakungmu cari eyang putri yang lain yang bisa ngurus dia”
“Tapi eyang masih cinta sama eyang kakung kan?”
Eyang diam, menatap hujan. Mengenang masa-masa kebersamaan mereka. Kata eyang putri, nggak ada suami sehebat eyang kakung. Baik, rajin, nggak pernah marah, nggak pernah nuntut macem-macem dan sayang sama eyang putri.
Ada tatapan hampa yang menyemburat dari mata sayu itu. Tatapan penyesalan dan kebahagiaan kenangan. Sejak ninik meninggal, eyang putri jadi lebih sering cerita tentang eyang kakung. Ada senyum yang selalu menghiasi cerah wajah beliau tiap kali mengingat masa lalunya bersama eyang kakung. Ada semburat bahagia yang ia pendam sejak lama.
@-@
“Eyang nggak mau menikah lagi kalau nggak sama eyang putrimu,” kata eyang kakung saat kami duduk-duduk bersama di ruang tamu, menatap hujan yang turun cukup deras. Beliau juga lebih sering mengenang kebersamaannya bersama eyang putri sejak berpisah dengan papuk karena permintaan papuk. Cintanya tak pernah pudar sejak dulu hingga saat ini.
Eyang kakung pernah cerita kalau beliau pernah meminta eyang putri menemaninya lagi di jari tuanya, tapi eyang putri hanya menjawab dengan tangis dan gelengan kepala.
“Eyangmu bilang, kalau nggak sakit dia pasti mau bakti sama eyang kakung lagi.”
Penyakit yang merenggut 20 tahun hidup eyang putri telah membuatnya terlihat jauh lebih tua dari umurnya. Tubuhnya kurus kering dengan perut membesar. Kulitnya putih pucat, sudah tak segar lagi. Rambutnya mulai banyak beruban. Jalannya tak kokoh dan lebih sering berbaring. Meski beliau mengatakan masih mencintai eyang kakung, tapi beliau tak bisa menjaid istri yang seutuhnya. Sakit yang beliau derita justru akan merepotkan banyak orang. Beliau memilih untuk sendiri sampai akhir hayat beliau. Menahan perin penyakitnya sendiri, menanggung keperihan yang tak terkatakan.
Air matanya meleleh sangat deras di depan eyang kakung, mengingat kebersamaan mereka. Mengingat rasa yang ada masih sangat besar pada orang yang duduk di depannya, orang yang pernah mengisi hatinya dan hidup bersamanya dua puluh lima tahun silam. Orang yang pertama menyentuh hatinya dan masih meninggalkan rasa yang selama 25 tahun tak bisa terhapus oleh apapun. Air mata itu terus mengalir. Tak mampu beliau membendungnya.
“Aku udah nggak bisa jadi istri yang sempurna lagi, kak”
“Aku Cuma butuh orang yang menemaniku. Ada anak-anak yang mengurusku,” kata eyang kakung.
Cinta itu begitu tulus. Datang dengan harapan dan impian, tapi tak memaksa. Cinta mengerti apa yang menjadi keputusan hati.
@-@
Diabetes makin menyiksa eyang putri. Kaki kirinya mulai bengkak dan mengeluarkan nanah. Ada lubang di telapaknya. Ibu yang setiap hari membersihkan dan merawat eyang putri tak henti mengeluarkan air mata bila melihat eyang menangis menahan perih. Eyang kakung datang beberapa kali untuk menjenguk eyang putri, membawakan obat dan makanan kesukaan eyang putri.
“Dulu waktu kami menikah eyang putri belum bisa masak, jadi eyang terus yang masak,” kata eyang kakung saat membawakan sayur ketudur (daun turi) kesukaan eyang putri.
Eyang putri makan dengan lahap dengan sayur buatan eyang kakung. Beliau sering bilang padaku kalau masakan eyang kakung nggak ada duanya. Bahkan jauh lebih enak dari masakan eyang putri.
Kami duduk bertiga di ruang tamu. Eyang putri tak kelihatan sakit, beliau terlihat sangat bahagia ketika menceritakan masa-masa kebersamaan mereka. Kata eyang kakung, dulu kalau eyang kakung belum masak, eyang putri suka sekali menjewer telinga eyang kakung. Ternyata eyang putri dulu anak manja.
Tawa eyang putri berderai, belum pernak kulihat tawa lepas itu. Tawa bahagia itu, tawa yang selama ini terkubur oleh rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Tawa yang tak sempat keluar dari mulut beliau karena menahan sakit yang semakin tak tertahankan. Kadang, hanya air mata yang bisa mewakili betapa sakitnya yang beliau rasakan.
“Ya sudah, eyang pamit pulang dulu ya Na...biar eyang putrimu bisa istirahat. Kalau eyang di sini terus nanti eyang putrimu nggak bisa istirahat”
Ada semburat kecewa setiap kali eyang kakung pamit pulang. Jelas tergambar dari mata eyang putri yang tak dapat disembunyikan meski dengan senyum sekalipun.
@-@
“Nina, bisa antar eyang ke rumah eyang kakungmu? Kata ibumu beliau sakit, kemaren waktu eyang sakit kan beliau sering jenguk eyang” kata beliau pagi-pagi sekali.
“Loh, tapi kan eyang juga masih sakit. Eyang nggakpapa kesana?”
“Eyang nggakpapa, eyang agak enakan kok”
Sudah hampir sebulan eyang kakung nggak menjenguk eyang putri karena darah rendahnya kambuh sehingga dokter menganjurkan untuk istirahat total.
“Tapi eyang mau bikin roti dulu buat eyang kakungmu”
“Eyang mau bikin apa?”
“Kue cucur bulat, kesukaan eyang kakungmu”
Dengan langkah yang terseok, berjalan perlahan, beliau mulai membuat adonan. Beliau tak megizinkanku membantu mengadon. Katanya udah lama beliau nggak bikin roti. Memang eyang putri lebih suka bikin kue daripada memasak sayur. Meski perlahan, tapi kue cucur donat yang dibuat dengan ketulusna dan perjuangan jadi juga. Dibungkus dengan toples kecil transparan.
Kusiapkan mobil untuk membawa eyang putri ke rumah eyang kakung yang keadaannya sudah membaik. Sepanjang perjalanan, eyang putri menatap toples berisi kue cucur donat buatannya.
Sampai di rumah eyang kakung, semua adik eyang kakung yang tinggal di samping rumah eyang (kompleks rumah keluarga warisan orang tua eyang kakung) datang untuk bertemu eyang putri. Semuanya sayang dengan eyang putri meski pernikahan eyang kakung dengan eyang putri tak berlangsung lama. Kenangan eyang putri yang lembut dan penyayang sangat lekat di benak mereka. Derai air mata eyang putri kembali terurai. Beliau ingat masa-masa ketika tinggal bersama keluarga yang sangat hangat di sana.
Setelah penyambutan indah itu, eyang putri dipersilakan masuk ke rumah eyang kakung yang terletak paling ujung barat dari deretan rumah itu. Rumah-rumah disusun sesuai dengan usianya. Paling barat yang paling tua kemudian ke timur semakin muda dan yang termuda ada di ujung timur. Kata eyang kakung, orang tua beliau meminta putra-putrinya tinggal satu tempat meski ada yang perempuan.
“Masih seperti dulu,” kata beliau melihat bangunan rumah yang dulu pernah menjadi tempat mereka tinggal bersama. Rumah yang dibangun untuk mereka waktu mereka baru saja menikah.
Eyang kakung langsung melahap kue buatan eyang putri. Hujan turun deras sekali. Kami menikmatiknya bertiga. Hujan menjadi aksi bisu cinta mereka hingga saat ini, eyang kakung dan eyang putri sangat menikmatinya.
@-@
Kaki eyang putri tak menujukkan perubahan, bahkan beliau berkata kalau semakin sakit. Eyang yang awalnya tak mau dirawat di Rumah Sakit akhirnya mau dirawat setelah semua putra-putrinya memaksa beliau. Kami membawanya ke Rumah Sakit terdekat. Eyang putri sudah tertalu lemah untuk merasa kesakitan. Beliau hanya meneteskan air mata sambil terpejam. Bahkan untuk menggerakka tubuhnya saja beliau sudah tak sanggup.
Sampi di UGD, lukanya langsung dibersihkan. Tak ada teriakan kesakitan, hanya gurat lelah di wajah beliau. Setelah luka yang baru saja dibersihkan itu dibungkus perban, beliau langusng dibawa ke kamar tempat beliau dirawat. Eyang putri sudah tergolek lemas, badannya semakin berat. Tak lama, semua keluarga datang menjenguk. Infus yang masuk di dalam tubuh beliau tak mau berjalan hingga akhirnya perawat mencabutnya.
“Maafin aku ya” hanya itu yang beliau katakan pad asaudara-saudara yang datang menjenguknya. Pandangan matanya menerawang.
“Ibu pengen makan sayur ketudur buatan ayahmu” bisik eyang pada ibu yang tak pernah meninggalkan eyang sedetikpun. Seketika ibu langsung menelpon eyang kakung.
Eyang kakung satu jam setelahnya bersama ayah dengan rantang berisi sayur ketudur dan nasi hangat. Eyang putri yang ketika eyang kakung datang beliau sedang tidur langsung bangun mendengar suara eyang kakung.
“Aku bawakan sayur ketudur pesananmu,” kata eyang kakung.
“Makasih ya” senyum lembut eyang putri mengembang. Beliau lalu menoleh pada ibu, “Aku mau makan”
Ibu mengambulkan nasi dan sayur ketudur lalu menyuapi eyang putri. Eyang kakung menghibur eyang putri dengan menceritakan lgi kisah-kisah indah saat mereka berdua masih bersama. Saat pertama kali eyang putri belajar memasak dan sayurnya rasanya sama sekali nggak enak yang akhirnya dibuang sebelum eyang kakung sempat memakannya. Akhirnya eyang kakung masak dulu sebelum makan. Bahkan untuk masak nasi saja eyang putri harus belajar pada eyang kakung.
Eyang putri tersenyum mengingatnya.
Selesai makan, eyang kakung pamit pulang.
“Sayurnya enak, masih sama kayak dulu, makasih” kata eyang putri.
Dua jam setelah itu, eyang putri menghembuskan nafas terakhirnya. Senyum tersungging di wajah lembutnya. Air mata kami terurai, beliau pergi membawa cintanya pada eyang kakung.
Sudah tak bisa lagi kami menatap hujan bersama, tinggal aku dan eyang kakung yang masih sering menatap hujan dan mengenang kebersamaan eyang kakung dengan eyang putri.
Jendelanya sudah mulai mengembun, udara dingin mulai menusuk, tapi aku masih belum ingin beranjak dari balik jendela ini. Jendela kamar eyang, tempatku dan eyang putri sering melihat hujan berdua sambil mendengar beliau menceritakan masa muda beliau dan kebersamaan beliau dengan eyang kakung.
Cinta mereka sungguh tulus, tak lekang oleh waktu dan jarak meski tak bersama. Aku sangat ingin memiliki cinta itu dan dalam doaku, aku panjatkan semoga aku dapat hidup bersama dengan orang yang benar-benar kucintai.

Comments