Persahabatanku dengan Angkutan Umum


Pulang dari Al Fikr di Serengan, naik bis Nusa A pulang ke kampus. Berhubung nggak punya kendaraan sendiri, kema-mana aku harus bersahabat dengan kendaraan umum dan memang aku sudah sangat bersahabat sejak SMP. Apalagi memang sejak kecil aku udah sering travelling ikut bapak yang kerja sebagai konsultasn di proyek jalan tol yang selalu pindah tempat. Dulu sih ikut kemana bapak proyek, tapi sejak sekolah TK, aku, adikku dan ibu menetap di Ambrawa bersama orang tua bapak alias simbah dalam bahasa Jawa. Itulah yang menyebabkanku akrab dengan kedaraan bermotor dan nggak gampang mabuk darat. Berhubung ibu asli Lombok jadi aku sering jenguk papuk (sebutan nenek dan kakek dalam bahasa sasak) di Lombok dan ternyata aku teruji nggak mabuk laut. Kalau udara belum pernah jadi aku nggak tahu mabuk udara apa nggak, tapi setidaknya dua titik aman udah teruji.
Aku mulai menjalin persahabatan sejak SMP karena aku harus naik angkutan kota (angkot) untuk sampai di SMP ku yang jaraknya sekitar 5 km dari rumah. Setelah itu, SMA aku mulai bersahabat dengan bus antar kota karena sekolahku di luar kota. Persahabatan makin erat waktu aku kuliah di Solo, aku mulai bersahaat dengan bus antar kabupaten dan mini bus yang ada di dalam kota Solo untuk sampai kampusku di UNS yang berada di pinggiran Solo dekat Karanganyar dan Sragen.
Karena nggak bawa motor ke Solo dan sering pulang ke rumah seminggu sekali makanya aku bersahabat karib banget sama angkutan umum Solo-Ambarawa’
Kembali ke TKP awal, aku sudah menemukan bus Nusa A yang mangkal di perempatan gemblegan, lumayan jauh juga sekitar 1 km dari Al Fikr. Seperti biasa, ada pengamen naek wktu bus berangkat. Habis nyanyiin lagunya ST 12 yang judulnya ku lupa soalnya kau asik ngelamun nggak jelas tentang apa yang akan kulakukan setelah lulus nanti sambil lihat ke luar jendela, tapi aku sempat mengambil koin Rp 500,- dari dompet HP ku untuk kuberikan pada segerombolan anak muda yang lagi nyanyi.
Aku nggak sadar kalau mereka sudah selesai dan salah satu dari mereka duduk di sampingku.
“Mbak mau kemana mbak?” Tanya seseorang di sebelahku yang setelah aku sadar ternyata dia itu pengamen yang barusan nyanyi dengan suara nggak terlalu bagus.
“Ke UNS,” jawabku agak males dengan berusaha biasa saja, menengok padanya sebentar dengan muka agak males lalu memandang ke luar kaca lagi.
“dari mana mbak?”
“dari Al Fikr,” nih orang udah mulai bikin males,. Aku udah tahu dia pasti ngajakin kenalan trus mau minta no Hp…males banget.
“kok jauh mbak maennya”
“iya, ke rumah teman…”
“Mbak mau reques lagu apa?”
“nggak mas, makasih,”
“mbak suka lagunya tadi?”
“hmh? Lagu apa mas?”
“lagu yang abrusan saya nyanyiin,”
“saya lupa, mas nyanyi lagi apa sih?”
“lagunya ST12,mbak…”
“Oh…”
Tiba-tiba ada tangan menengadah yang nongol di depan cowok yang duduk di sampingku. Kuulurkan tanganku untuk memberikan uang Rp 500,- yang sudah ada di tanganku.
“Boleh kenalan nggak mbak?nama saya Ari,” dia mengulurkan tangannya. Ini nih bagian adegan yang paling malesin. Rasanya pengen di pause trus aku pergi trus di play lagi kalo aku udah di luar.
Tapi melihat tampangnya yang banyak kasihannya daripada tampang preman, kuulurakan tanganku menjabat uluran tangannya, “Rani,” memperkenalkan nama belakarangku yang tak pernah menjadi sebutan.
Setelah berjabat tangan, entah kenapa tingkat kesebelanku justru berkurang. Aku justru kasihan dengannya kalau aku bersikap acuh, akutakut dia mengira aku sombong.
“Udah punya pacar belum mbak?”
“ada, calon ssuami,” jwabku sekenanya padahal nggak ada pacar, hanya sebagai jurus penangkal aja.
“yah, saya kira belum punya pacar,hehe”
Aku memilih tersenyum dan nggak nanggepin bahasan nggak jelas dan nggak ada manfaatnya.
“rumahnya serengan mbak?”
“Nggak, rumah saya ambarawa,”
“Oh, jadi kos di uns sana?”
“Iya,”
“Enak ya mbak bias kuliah, saya sebenernya juga pengen kuliah’
“kok nggak kenapa?”
‘nggak ada uang mbak, orang tua saya udah nggak ada, ibu saya meninggal bapak saya nikah lagi, saya sama mbak saya di rumah. Makanya saya ngamen bira mbah saya bias makan. Kalau saya nggak ngamen gimana mbah saya bias makan,”
“oh…mbahnya udah sepuh ya?”aku tiadk tahu apa yang harus kuucapkan, rasa empati yang muncul tak bias terungkapkan dengan kata. Rasa iba munyeruak di tengah deru kendaraan yang makin bising.
“iya,mbak…saya dulu juga pernah kerja mbak, tapi pabrknya bangkrut makanya saya ngamen biar mbah sya bias makan. Kalau nggak saya siapa lagi yang mau ngasih makan mbah saya”
“lha kok sekarang nggak kerja lagi?”
“cari kerjaan susah, mbak..”
“kalau mau usaha pastia da jalan, mas. Maaf, mas lulusan apa?”
“SMA, mbak”
“Nah itu mas lulusan SMA, adek saya juga lulusan SMA, bias kerja kok, mas”
Kami terdiam sejena, kemudian dia kembali membuka pembicaraan, “kalo mbak sih enak, nggak usah ngamen segala udah dapet uang”
“loh, kok bisa?”
“Ya enak aja dilihatnya, kuliah, pulang bias tidur, nggak naik turun bis seperti saya,”
“itu kan menurut mas. Mas belum pernah jadi saya kan?saya juga belum pernah jadi mas jadi nggak bias dibandingkan enak jadi siapa. Setiap orang punya masalah, mas. Tinggal bagaimana kita menyikapi, kalau ikhlas semua bias jadi ringan.”
“tapi kayaknya kalo dilihat mbak nggak ada masalah,”
“yam as Cuma lihat saya dari luarnya, mas nggak tahu kana pa yang sebenernya saya alami jadi mas jug anggak bias menyimpulkan kalau jadi saya lebih bahagia dari mas. Setiap orang punya masalah, mas, tinggal bagaimana kita menyikapi.”
Dia diam lagi, “mbak itu hebat lho, jiwanya mbak hebat,” katanya
Aku nggak ngerti maksudnya, aku menoleh ke arahnya sambil mengerutkan dahi. Sekarang wajahnya udha nggak terlihat seperti pengamen yang nyebeli, dia lebih terlihat tenang.
“nggak banyak yang mau ngobrol sama pengamen lho, mbak. Biasanya mereka nggak mau kalo diajak ngobrol pengamen. Nggak banyak orang kayak mbak”
“ya, mungkin mereka takut, pengamen kan nggak smeua kayak mas. Ada yang kadang penampilannya kayak preman, makanya mungkin pada nggak mau.”
Dia diam lagi, lalu mengeluarkan HP nya.
“boleh minta no Hp nya mbak?”
“maaf, mas. Jangan ya, nanti calon suami saya marah kalau tahu,”
Dia memasukkan kembali Hp nya, “Jangan lupa sama saya ya, mbak…siapa tahu ketemu lagi,”
“oh, iya mas…”padahal selama aku ngobrol sama dia, aku jarang melihat ke wajahnya, gimana bias inget?
Tiba-tiba temennya nongol ngulurin tangan, “Budi, mbak”
Kujabat tangannya, “Za, eh, Rina” hamper aja aku menyebutkan nama panggilanku biasa. Semoga pengamen itu nggak curiga.
“kamu turun dimana?’tanya seorang kondektur yang lewat di sebelahnya, “menuh-menuhin aja,”
“situ pak, stasiun,”jwabnya. Kasihan juga mereka harus diusir seperti itu, padahal mereka juga cari nafkah.
“ya udah, mbak, saya turun dulu ya mbak, jangan lupa sama saya ya mbak”
aku balas dengan anggukan dan senyum, “ya, monggo”
sebelum turun, dua temannya juga menyapaku, “mri mbak”
“ya, “jawabku sambil tersenyum.
_@_@_@_
“Panas banget ya?” beberapa kali Vivi mengusapkan tissue ke wajahnya yang memerah karena kepanasan.
Kami berdua, segelintir mahasiswa yang nggak dibekali kendaraan pribadi dalam bentuk apapun untuk ke kampus, harus rela jalan kaki sekitar 1 km dari kos sampai kampus, belum lagi naik turun tangga di lantai 3 dan harus rela kepanasan dan kehujanan kalau nggak ada tebengan. Biasanya kalau pulang kuliah kami jarang jalan karena selalu ada temen yang ngajakin bareng sampai depan kampus, tinggal jalan 100 meter sampai kos. Lumayan, ngirit tenaga, tapi itu juga kalo ada yang pulang cepet. Kalo pake nongkrong dulu aku biasanyanggak sabar. Hari ini Vivi ngajakin pulang bareng jalan kaki, tapi mampir dulu ke perpustakaan universitas yang ada di belakang gedung rektorat.
“Iya, dua hari ini panasnya nggak ketulungan,” jawabku.
“Apalagi jalan begini, makin burket nih,hehe” katanya sambil melirik ketek nya sendiri yang dari tadi nggak berani dibukanya. Mungkin emang bener-bener burket.
“Jangan dibuka sekarang Vi, nanti aja pas nyebrang biar orang-orang pingsan trus kita bisanyebrang dengan leluasa,haha…”
“Haha…iya,bias-bisa. Tapi ketekku kan wangi melati gitu,hehe”
“Lah, malah bagus, dikira setan ntar pada kabur semua,hahaha”
“Kurang ajar nih,” kami berdua terawa
Sampai di perpustakaan, kami beli siomay dulu di dekat kantin untuk makan siang. Tiap akhir bulan begini pasti jajan seadanya soalnya bokek stadium akhir, trus ntar pas awal bulan balas dendam makan enak. Makanya siklusnya pasti begitu terus. Herannya, 4 tahun jadi anak kos nggak nemu jurus jitu supaya nggak bokek tiap akhir bulan. Hanya orang bodoh yang jatuh di lubang yang sama berkali-kali, berarti kesimpulannya anak kos yang selalu bokek di akhir bulan termasuk orang bodoh ya?padahal udah disekolahin sampe jadi sarjana tetep aja nggak pinter. Heran deh…
Setelah melahap habis siomay khas bandung favorit kami, segelas aqua gelas langsung ludes dalam sekali teguk. Antara laper sama doyan. Selesai dalam 15 menit, kami langsung menuju perpustakaan. Setelah absen dengan kartu identitas disodorkan di mesin pembaca kartu, kami masuk ke ruang perpustakaan yang cukup luas itu. Beribu-ribu buku ada di bangunan dua lantai ini. Aku paling suka di perpustakaan ini karena bias cri buku macem-macem. Aku paling suka ke ranah psikologi dan sastra. Design furniture dan arsitektur juga nggak kalah menarik perhatianku, tapi gambar-gambar jadinya aja. Beda sama perpustakaan fakultas yang melulu buku kuliah, di bangunan ini aku bias mendapat informasi lebih banyak tentang apa yang memang kubutuhkan.
Setelah mengetikkan judul buku yang dicari di catalog online yang tersedia setelah absen kartu tadi, Vivi berjalan di depanku. Sibuk dengan tulisan-tulisan kode buku yang dicarinya. Aku pun bebelok ke barisan buku-buku psikologi. Mencari buku yang menarik hatiku. Tak ada tujuan mencari buku khusus, aku hanya mengantar Vivi.
“Mbak Tika ya?” seorang cowok di sampingku tersenyum padaku. Ia membawa tumpukan buku untuk dimasukkan dalam rak-rak di sampingku.
“Maaf, kita pernah bertemu?” aku mencoba mengingat wajah yang taka sing lagi bagiku. Tapi aku tak ingat siapa dia dan dimana bertemu.
“Mbak lupa sama saya? Saya Ari,” katanya.
“Ari?mmmm…….” aku berusaha mengingat, tapi sepertinya sia-sia. Sama sekali tak bias kuputar kembali memori yang mengingatkanku pada sosok di depanku ini.
“Kita ketemu di bis,Mbak. Saya pengamen yang waktu itu ngajak kenalan mbak di bis Nusa A”
“Oh, Mas Ari yang itu…iya saya ingat,”
“Mbak sudah lupa sama saya ya?”
“Maaf mas, udah lama sekali itu,”
“Iya, setahun yang lalu ya mbak?”
“Apa iya mas?wah, lama juga ya. Mas malah masih inget sama saya. Lagi apa mas disini?”
“Setelah ngobrol sama mbak dulu, saya jadi bertekad mau kuliah, saya mau maju mbak. Sekarang saya kuliah sambil kerja di perpustakaan kalau pagi sampai sore. Kalau malam di KFC. Sabtu-minggu jualan di Manahan. Makanya saya bias kuliah, mbak. Kata mbak kalau ada niat, pasti bias. Saya buktikan mbak, ternyata memang benar. Kalau mau berusaha dan berdoa pasti bisa”


Semoga bermanfaat...^-^

Comments